- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Yunita kembali membukakan pintu ketika melihat Deden dari balik jendela rumah. Deden masuk ke rumahnya setelah mendatangi rumah Keluarga Prawira dan juga rumah Pak Lurah.
"Bagaimana, Nak? Apakah ada kabar soal keberadaan Bapakmu?" tanya Yunita.
"Enggak ada, Bu. Aku enggak dapat petunjuk apa pun soal keberadaan Bapak," jawab Deden.
Deden meminum satu gelas air hingga tandas. Dahaga yang menyerangnya terasa begitu hebat saat keluar rumah tadi.
"Aku ke rumah Keluarga Prawira dan bertemu dengan Paklik Eman. Saat aku tanya soal Bapak, Paklik Eman terlihat kebingungan terutama saat aku mengatakan padanya bahwa Bapak pulang dengan wajah penuh kemarahan," ujar Deden.
"Lalu, dia bilang apa? Apakah dia mengatakan soal apa yang dibicarakan oleh Bapakmu kepadanya?" Yunita ingin tahu.
"Iya, Bu. Paklik Eman memberi tahu aku soal yang Bapak bicarakan dengannya. Menurut Paklik Eman, pembicaraan yang terjadi antara dirinya dan Bapak hanya berputar soal keadaan beberapa orang warga di Desa ini. Bapak cerita pada Paklik Eman, bahwa ada beberapa warga yang berhak menerima bantuan. Tidak ada pembicaraan yang lain selain mengenai hal itu."
Yunita kembali merasa resah. Wanita paruh baya itu kini duduk di sofa ruang tamu, lalu mulai memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut akibat stress. Deden mendekat padanya, lalu duduk di sofa lain yang tidak jauh dari tempat Yunita berada.
"Bu, jangan banyak pikiran. Tenangkan dulu diri Ibu. Aku juga jadi tidak tenang saat mencari Bapak, kalau di rumah Ibu juga gelisah seperti ini," bujuk Deden.
Yunita mendongakkan kepalanya dan menatap lurus ke arah putranya yang sedang membujuk.
"Bagaimana caranya Ibu bisa tenang, Nak? Bapakmu pergi dalam keadaan marah dan dia tidak bilang apa penyebab kemarahannya. Dia tidak membawa motornya, ponselnya juga tidak aktif. Bagaimana Ibu bisa tenang, Nak? Bapakmu tidak pernah begini sebelumnya. Bapakmu selalu terbuka pada Ibu, meski sedang menghadapi masalah besar sekalipun. Bapakmu tidak pernah memperlihatkan kemarahannya pada Ibu. Dia orang paling sabar yang pernah Ibu kenal. Jadi bagaimana caranya Ibu bisa tenang, kalau Bapakmu dihubungi pun saat ini tidak bisa sama sekali? Bagaimana, Nak?" Yunita mengungkapkan rasa frustrasinya.
"Sabar, Bu. Aku paham bahwa Ibu saat ini sedang mengkhawatirkan Bapak. Tapi jika Ibu gelisah berlebihan, takutnya justru malah terjadi apa-apa pada diri Ibu. Tenang dulu. Insya Allah Bapak akan pulang dan kalau pun tetap tidak ada kabar dari Bapak, aku akan kembali mencoba mencarinya."
Yunita pun terdiam, meski perasaannya masih juga belum bisa tenang seperti biasanya. Deden ikut terdiam sambil menatap keluar jendela.
"Tadi setelah dari rumah Keluarga Prawira, aku langsung pergi ke rumah Pak Lurah. Pak Lurah membenarkan bahwa Bapak tadi datang ke rumahnya. Pak Lurah mengatakan bahwa Bapak datang untuk membicarakan soal beberapa orang warga yang rencananya akan menerima bantuan dari pemerintah daerah. Pak Lurah bilang, mereka sempat saling beradu argumen mengenai perkara tersebut. Alasannya adalah, Pak Lurah hendak menunda sementara pembagian bantuan itu agar bersamaan dengan acara yang hendak dilaksanakan oleh Pak Lurah," jelas Deden.
"Lalu setelah itu, Bapakmu pulang dari sana tanpa mendapat kejelasan dari Pak Lurah? Benar, begitu?"
Deden mengangguk pelan.
"Benar, Bu. Jadi ada kemungkinan hal itulah yang membuat Bapak pulang dengan wajah penuh amarah. Bapak mungkin tidak mau membebani Ibu dengan beban pikirannya perkara warga Desa, jadi Bapak memilih diam dan pergi untuk mengurus sesuatu. Maka dari itulah aku meminta Ibu untuk tenang. Bapak pasti pulang dan aku pun tidak akan berhenti mencarinya, jika memang Ibu tetap butuh kepastian soal keberadaan Bapak."
Yunita pun pasrah setelah mendengar semua yang Deden ceritakan. Mungkin benar adanya bahwa Rusdi tidak mau membebani Yunita dengan perkara bantuan untuk warga Desa yang ingin ditunda sementara oleh Pak Lurah. Rusdi mungkin tidak ingin membuat Yunita stress hanya karena perkara tersebut.
"Ya sudah, pergilah ke kamarmu. Ganti pakaian dan mandi. Ibu akan siapkan makanan untukmu," titah Yunita.
"Iya, Bu."
Deden benar-benar pergi ke kamarnya, sementara Yunita beranjak menuju dapur untuk menyiapkan makanan. Di dalam kamarnya, Deden langsung membuka kancing kemejanya satu-persatu sambil menatap ke arah rumah Keluarga Prawira. Ia mengamati ruang kerja Diah yang tampak begitu sepi. Diah ataupun Fikri sama sekali tidak terlihat di sana. Tadi saat datang ke rumah itu, ia ingin sekali menanyakan apakah Fikri dan Diah sedang berada di rumah atau tidak. Namun pertanyaan bernada menegur yang dilayangkan Eman sejak awal membuatnya harus mengingat, bahwa dirinya sudah diberi larangan untuk menginjakkan kaki di rumah itu ataupun mencampuri urusan Diah.
Hal itu membuat Deden merasa begitu stress, karena perasaannya sedang merindukan Diah dan ingin bertemu dengan wanita itu. Namun Diah jelas tidak merasakan apa-apa terhadapnya dan lebih memilih bertemu dengan Raga. Pertemuan Diah dan Raga adalah awal yang tidak pernah Deden ketahui akan terjadi. Bahkan ia tidak menduga sama sekali, kalau Diah yang tidak pernah membuka hati untuk siapa pun bisa jatuh hati kepada Raga pada pertemuan pertama mereka. Ia mendengar soal itu dari Zainal melalui chat, semalam. Padahal sebelumnya ia sudah repot-repot mencemburui Zainal dan Fikri, karena takut kedua pria itu tertarik pada Diah lalu mencoba mendekatinya. Tapi justru yang terjadi bukanlah yang ia takutkan, melainkan yang tidak ia duga.
DEDEN
Assalamu'alaikum. Kamu di mana, Zain? Apakah Fikri dan Diah ada bersamamu saat ini? Aku lihat di rumah Keluarga Prawira sangatlah sepi. Diah tidak ada di ruang kerjanya dan Fikri tidak terlihat di sekitar halaman. Apakah kalian sedang keluar bersama?Pesan itu Deden kirimkan sebelum dirinya masuk ke kamar mandi. Ponsel ia letakkan di atas tempat tidur begitu saja, karena pintu kamar telah ia kunci. Ibunya jelas tidak akan bisa masuk ke kamarnya dan tidak akan memeriksa ponselnya. Meski Yunita percaya padanya dan Deden tidak punya rahasia, tapi Deden tetap saja tidak merasa nyaman jika ponselnya sampai diperiksa oleh Ibunya sendiri. Terutama sejak Yunita tahu kalau Deden memiliki perasaan pada Diah, Deden menjadi semakin tidak ingin ponselnya diganggu oleh siapa pun.
Usai mandi, Deden meraih ponselnya dan membuka satu pesan yang masuk. Itu adalah balasan dari Zainal, persis seperti yang ia harapkan.
ZAINAL
Wa'alaikumsalam, Den. Diah dan Fikri tidak sedang bersamaku. Aku sedang bersama Ayu saat ini. Aku ... akan mengungkapkan perasaan padanya dan akan mengajaknya menikah. Doakan aku, Den. Semoga Ayu tidak menolak pernyataan perasaanku padanya dan juga ajakanku menikah.Deden pun tersenyum usai membaca pesan itu.
"Mana mungkin Ayu akan menolak, 'kan? Sudah jelas sekali kalau Ayu juga menyukai Zain sejak lama. Diah sendiri yang bilang waktu itu," gumam Deden, kemudian mulai mengetik balasan untuk Zainal.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
KUTUKAN (SUDAH TERBIT)
Horror[COMPLETED] "Jangan pernah pulang ke sana, jika kamu tidak mau mati sia-sia." Itu adalah pesan terakhir dari Ibunya sebelum meninggal dunia akibat penyakit aneh yang sudah menggerogoti tubuhnya selama bertahun-tahun. Diah ingin sekali menuruti pesan...