11 | Teror Bayangan Hitam

2.7K 214 5
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

"Kalau boleh tahu, kenapa Non Diah mendadak ingin mengubah pintu di lantai dua ini? Apakah Non Diah merasa tidak nyaman dengan pintu dan jendela yang sudah ada sebelumnya?" tanya Fikri.

Diah berhenti membobok tembok sejenak dan menoleh ke arah Fikri. Wanita itu kemudian tersenyum, sehingga Fikri menyadari bahwa kini Diah jauh lebih banyak tersenyum ketimbang saat masih kecil.

"Sebenarnya bukan tidak nyaman, Mas. Hanya kurang sedikit nyaman, lebih tepatnya. Aku hanya ingin mengubah suasana rumah ini agar menjadi lebih segar. Pemandangan dari balkon ini ke arah luar sudah sangat bagus. Jadi jika aku bisa menatapnya ketika bekerja setelah memasang pintu kaca yang cukup lebar, aku jelas akan merasa jauh lebih nyaman dari pada sebelumnya," jawab Diah.

Diah pun kembali melanjutkan pekerjaannya dan membiarkan Fikri tetap mengawasinya seperti tadi. Diah tahu kalau Fikri memang sedang mengawasinya. Fikri saat ini mungkin sedang mencoba untuk membaca gerak-gerik Diah, karena takut kalau Diah akan mencoba mencari tahu soal orang yang mengutuk rumah itu. Diah terus mengabaikannya dan hanya akan bicara jika ditanya atau diajak bicara lebih dulu. Keadaan itu jelas membuat Fikri jadi semakin serba salah jika berlama-lama di sana.

"Non Diah benar-benar sudah biasa mengerjakan pekerjaan seperti ini? Apakah Non Diah benar-benar tidak butuh bantuan?"

"Aku sudah terbiasa, Mas, dan aku tidak butuh bantuan. Kalau Mas Fikri ada kegiatan lain, silakan lakukan kegiatan yang harus Mas lakukan."

Fikri jelas tidak lagi punya alasan yang bisa membuatnya tetap mengawasi Diah. Pria itu pun segera pergi dari lantai dua dan meninggalkan Diah sendirian. Setelah Fikri tidak ada di dekatnya, Diah pun segera mengeluarkan ponselnya untuk memeriksa sesuatu. Benar saja dugaanya, Fikri tampaknya sudah menautkan ponselnya dengan ponsel milik Diah sehingga akan mudah menemukan lokasi keberadaan Diah di rumah itu. Pria itu jelas ingin selalu memastikan di mana Diah berada, agar bisa mencegahnya apabila akan mencari-cari sesuatu di dalam rumah itu. Diah sudah tahu ketika Fikri meminta izin untuk menyimpan nomor teleponnya. Namun ia jelas tidak ingin membuat Fikri curiga, bahwa dirinya bisa menebak tujuan pria itu. Maka dari itulah ia menyetujui permintaan izin tersebut dan bahkan mengizinkan Deden untuk menyimpan nomor ponselnya juga. Sebisa mungkin, Diah tidak ingin Fikri mencurigai gerak-geriknya.

Diah kembali menyimpan ponselnya ke dalam saku celana, ketika sekelebat bayangan hitam melintas di belakangnya dengan sangat cepat. Sekelebat bayangan hitam itu sama persis seperti yang ia lihat ketika baru saja membuka gorden di kamarnya tadi pagi. Tatapan Diah jelas langsung tertuju ke arah perginya bayangan hitam itu. Wajahnya seketika menjadi jauh lebih datar dan dingin, karena ada amarah yang begitu ingin ia luapkan.

"Diah! Kamu baik-baik saja?"

Suara Deden yang terdengar dari halaman membuat Diah segera melongok ke bawah. Pria itu tampaknya baru saja berlari-lari dari rumahnya, karena Diah bisa melihat nafasnya yang naik-turun tak beraturan.

"Mas Deden memperhatikan aku? Berarti Mas juga lihat bayangan hitam yang tadi melintas di belakangku?" Diah balik bertanya.

"Iya, aku memperhatikan kamu sejak tadi dari balik jendela kamarku. Aku lihat bayangan hitam itu melintas tepat di belakang kamu. Makanya aku segera berlari ke sini untuk memastikan tidak terjadi apa-apa sama kamu," jawab Deden.

Diah pun tersenyum, lalu beranjak dari pembatas balkon.

"Naik ke sini, Mas," panggil Diah. "Bilang saja sama Bulik Laila atau Mas Fikri kalau aku yang meminta Mas untuk masuk."

Deden pun mengangguk, lalu segera berjalan menuju pintu depan. Pria itu muncul di lantai dua tak lama kemudian, tepat saat Diah sudah selesai membobok tembok seperti yang diinginkannya. Diah menyimpan peralatan, lalu membuka sarung tangan yang sejak tadi ia pakai. Wanita itu memberi tanda pada Deden untuk mendekat ke balkon, agar mereka bisa berdiri di pembatas sambil menatap ke arah halaman. Deden menurut saja. Diah meraih dua paper cup ukuran sedang, kemudian menuangkan kopi dari termos kecil yang sejak tadi terus dibawa-bawa oleh wanita itu.

"Diminum, Mas, kopinya. Tidak terlalu manis, kok. Jadi Mas Deden tidak perlu takut rasanya tidak sesuai dengan yang Mas Deden suka," ujar Diah.

Deden pun segera meminum kopi itu dan mengakui dalam hati kalau rasanya enak. Tidak terlalu manis. Persis seperti rasa kopi yang Deden suka selama ini. Mereka berdua sama-sama diam dan hanya memandangi halaman di bawah sana. Entah kenapa Deden malah menjadi tidak berani buka suara lebih dulu ketika sudah berada di samping Diah.

Fikri naik ke lantai dua secara diam-diam. Pria itu bersembunyi di tempat yang tidak akan membuat keberadaannya terlihat oleh Diah ataupun Deden. Ia merasa penasaran dengan apa yang akan dibicarakan oleh Deden kepada Diah. Sebisa mungkin, ia akan selalu berusaha menghalangi jika Deden ingin memberi tahu Diah soal siapa orang yang telah mengutuk rumah Keluarga Prawira. Meski Deden adalah sahabatnya sendiri, ia tetap akan berusaha menghalangi jika pria itu berusaha membantu Diah untuk membuka rahasia lebih jauh dari yang sudah Zainal katakan siang tadi. Karena bagi Fikri, keselamatan Diah adalah hal utama yang harus dijaga.

"Bayangan hitam itu hanya akan lewat saja di dekatku. Dia tidak akan berani menyentuhku, meskipun dia diperintahkan untuk menyentuhku oleh orang yang mengirimnya ke sini," ujar Diah.

Deden memberanikan diri menatap ke arah Diah yang terlihat tenang sambil meminum kopi.

"Kamu kok bisa seyakin itu, Di? Maksudku, kamu kok tidak merasa resah sama sekali meski tahu bahwa kamu sedang diincar? Apakah itu karena belum ada satu makhluk halus pun yang berhasil menyentuhmu sampai saat ini?" Deden membuat dugaan.

"Bukan, Mas. Bukan karena aku sombong, akibat memiliki kemampuan lebih dari kemampuan yang Mas Deden punya. Bukan juga karena aku terlalu percaya diri, sehingga berani mengabaikan keselamatanku dan bersikap tidak peduli. Percayalah Mas, aku selalu waspada setiap saat setelah tiba di rumah ini lagi. Aku hanya tidak memiliki rasa takut terhadap makhluk-makhluk itu, Mas. Aku hanya takut kepada Allah, sehingga selalu yakin bahwa Allah akan melindungiku di mana pun dan dalam keadaan apa pun. Bisa dibilang, saat ini aku sudah berada dalam keadaan paling pasrah setelah Almarhumah Ibuku meninggal dunia. Jadi ... sebisa mungkin aku berserah diri kepada Allah, sambil menghadapi apa pun yang akan datang ke hadapanku. Kalau memang pada akhirnya aku akan tetap mengalami sakit yang dialami oleh seluruh anggota keluargaku, maka aku tidak akan menganggap bahwa diriku menerima kutukan. Tapi aku akan menganggap hal itu adalah takdir dari Allah yang memang harus aku jalani menjelang akhir hayatku," jelas Diah, dengan senyuman yang tidak pernah pudar dari wajahnya.

* * *

KUTUKAN (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang