- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Diah menatap lurus ke arah atap rumah Raga, tepat ke arah genderuwo yang saat ini sedang bertengger di sana. Fikri yang ada di sampingnya justru menatap ke arah sebuah pohon kelapa yang terletak di bagian samping rumah tersebut.
"Mana genderuwonya, Non? Kok enggak ada tanda-tanda keberadaannya di atas pohon kelapa itu?" tanya Fikri.
Diah pun langsung menarik lengan Fikri, lalu mengarahkan kepala pria itu agar tatapannya terarah pada atap rumah Raga.
"Genderuwonya ada di atas atap rumah itu, Mas. Enggak mungkin dia ada di pohon kelapa, dong. 'Kan genderuwo enggak pernah ada niatan mau minum es kelapa muda," jawab Diah, sambil menahan gemas.
Fikri pun mengangguk-anggukkan kepalanya, pertanda bahwa dirinya baru menyadari bahwa genderuwo tidak mungkin berada di pohon kelapa.
"Ya Allah, aku mau keluar malam dari rumah sendirian, malah kena omel. Sekalinya ada yang mau menemani, yang menemaniku justru sukses membuat stress," keluh Diah.
"Bersyukur saja, Di. Kamu beruntung karena aku dan Fikri mau menemanimu untuk menghadapi genderuwo. Di dunia ini, mana ada orang yang mau menemani kamu dan kegiatan paling unbelievable yang selalu kamu lakukan, Di? Mana ada?" tanya Zainal.
"Ada! Ayu selalu mau, kok!" jawab Diah, sambil melayangkan tatapan sebalnya ke arah Zainal.
Wanita itu melangkah maju menuju ke arah halaman rumah Raga. Farah kini hanya bisa membantu Fikri menyabarkan Zainal yang baru saja mendapat skakmat dari Diah. Diah selalu tahu, kalau menyebut nama Ayu akan membuat Zainal tidak bisa berkata-kata.
"Sabar, Mas Zain. Bagaimana pun ucapan Diah soal Ayu, pada kenyataannya semua itu adalah benar," ujar Farah.
Zainal dan Fikri pun langsung menatap ke arah Farah dengan kompak.
"Dari mana kamu belajar kalimat mengesalkan seperti itu, Dek Farah?" tanya Zainal.
"Dari Rida, Mas," jawab Farah, polos dan apa adanya.
"Kamu enggak mau ganti teman, Far? Banyak loh, yang bisa memberikan ilmu lebih berfaedah untuk kamu daripada Rida," tawar Fikri.
"Enggak mau, Mas. Teman seperti Rida itu limited edition. Susah kalau mau cari yang seperti dia," tolak Farah.
Zainal pun langsung gantian menyabarkan Fikri agar tidak terkena serangan darah tinggi.
"Sabar, Fik. Bagaimana pun usahamu untuk menetralkan pikiran Diah, Ayu, maupun Farah agar kembali waras, tetap saja Rida adalah pemenangnya dan akan selalu ada di antara mereka bertiga," ujar Zainal.
Safira dan Irham--yang ada di belakang mereka bertiga sejak tadi--hanya bisa geleng-geleng kepala usai mendengar pembicaraan paling absurd tersebut. Entah kenapa Farah justru bisa bertahan berada di tengah orang-orang konyol seperti Zainal, Fikri, dan yang lainnya. Seakan dunia Farah dan dunia mereka memang cocok seratus persen.
Raga mengintip dari jendela bersama Yunus. Diah sudah berada di halaman depan rumah mereka dan tampak terus menatap ke arah atap. Raga bisa melihat Fikri dan Zainal ada bersama Farah serta Paman dan Bibinya. Mereka berdua mungkin diminta menemani Diah, karena tidak mungkin Diah akan keluar rumah sendirian saat malam.
BRAKKK!!! BRAKKK!!!
Suara itu terdengar lagi dan jauh lebih keras daripada sebelumnya. Diah mulai memanjat menuju atap menggunakan tangga lipat yang tersimpan di samping rumah Farah. Fikri hendak mendekat, namun Zainal menarik kemejanya agar berhenti dan tidak ikut campur dengan urusan Diah.
"Jangan ikut, Fik. Nanti kamu kena tinju seperti yang Deden dapatkan," Zainal mengingatkan.
"Aku cuma mau bantu pegang tangganya, Zain. Kalau Non Diah jatuh, bagaimana? Tangganya harus dipegang, agar dia bisa ...."
BRUAKH! KRAKKK! KRAKKK!
Fikri belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika tangga yang dipakai Diah untuk memanjat ke atap rumah Raga mendadak jatuh sendiri dan terbanting-banting sebanyak dua kali. Zainal pun langsung mendorong Fikri dengan penuh keikhlasan.
"Nah ... monggo ... pegang, sana! Ikhlas aku, kalau kamu mau memegangi tangganya setelah bisa bergerak sendiri seperti itu," Zainal mempersilakan.
"Duh, kalian kalau enggak bertengkar apa bisa langsung sakit, ya? Keadaan lagi mencekam, kok, sempat-sempatnya bertengkar dan saling dorong," omel Farah.
Rosa bersembunyi di pelukan suaminya saat melihat tangga yang Diah pakai jatuh dan bergerak sendiri di halaman.
"Itu tangganya, kok, bisa bergerak sendiri?" tanya Rosa.
"Mungkin makhluk yang sedang Diah hadapi merasa marah, Bu, karena tujuannya untuk mengganggu kita tidak berhasil dilakukan. Makanya tangga itu sengaja dibuat jatuh, agar Diah tidak bisa turun dengan mudah," jawab Raga.
BRAKKK!!! BRAKKK!!! BRAKKK!!! BRAKKK!!!
"Non Diah! Jangan terlalu ke pinggir!" seru Fikri.
"Genderuwonya yang mendorongku, Mas! Bukan mauku berdiri di pinggir!" sahut Diah, sambil menahan serangan yang datang ke arahnya.
"Maju-maju sedikit, Di! Kalau kamu jatuh, pasti ..." Zainal berhenti sejenak untuk memikirkan kalimat yang cukup waras, "keseleo atau patah tulang, yang terparah!" lanjutnya.
Fikri dan Farah kini menatap ke arah Zainal dengan kompak. Bahkan Safira dan Irham pun juga ikut menatap ke arah pria itu.
"Tadi kamu hampir bilang apa, Nak, sebelum melanjutkan kalimatmu? Kenapa mendadak berhenti di tengah-tengah?" tanya Irham.
"Anu ... tadi aku hampir bilang, 'kalau kamu jatuh, pasti ke bawah', Pakde," jawab Zainal, jujur.
Fikri langsung menarik nafasnya dalam-dalam demi menahan keinginannya untuk menceramahi Zainal. Farah segera menenangkan Fikri, agar Fikri tidak mengeluarkan unek-unek terpendamnya kepada Zainal.
"Sabar, ya, Mas Fikri. Sabar saja. Nanti aku bantu laporin ke Ayu soal kelakuan Mas Zain," bujuk Farah.
BHOOMMM!!!
Sesuatu sepertinya jatuh ke bawah dan meledak. Namun saat diperhatikan, tidak ada apa pun yang jatuh atau meledak di halaman depan rumah Raga. Diah hendak turun dari atap. Fikri segera mengambil tangga yang tadi jatuh agar Diah bisa memakainya kembali. Setelah Diah sampai di bawah, wanita itu segera mendekat pada bagian sudut halaman yang tampak sedikit berantakan. Raga pun keluar dari rumah bersama kedua orangtuanya. Fikri dan Zainal mengikuti langkah Diah yang kini sedang memperhatikan sesuatu di sudut halaman rumah Raga. Diah menoleh tak lama kemudian dan Fikri mengenali ekspresi yang sedang dilihatnya saat itu.
"Mas Fikri bisa bantuin aku merapikan pot bunga, 'kan? Pot bunga punya Ibunya Raga hancur, gara-gara genderuwo tadi aku dorong ke arah sini," mohon Diah.
"Astaghfirullah, Non Diah. Coba kalau berkelahi sama makhluk halus itu jangan sampai merusak barang-barang, dong. Kemarin kaca jendela di rumah, pecah. Sekarang pot bunga di rumah orang, hancur. Besok apa lagi yang akan rusak, Non?" omel Fikri.
Raga ingin sekali tertawa, namun dirinya memilih untuk tidak melakukan hal itu dan membantu Diah berdiri dari tempatnya berada. Rosa menatap ke arah Safira yang sudah tidak bisa menahan tawanya bersama Farah. Ia jelas tidak pernah kepikiran kalau ada orang yang mau repot-repot memikirkan cara membetulkan pot bunga yang sudah hancur.
"Sudah, jangan dipikirkan. Pot bunga itu memang sudah lama retak dan diabaikan oleh Ibuku, kok," ujar Raga.
"Tapi ...."
"Sudah, tidak apa-apa. Jadi ... genderuwonya sudah pergi?" Raga ingin tahu.
Diah pun mengangguk.
"Ada yang sengaja mengirimnya ke sini. Aku akan cari tahu siapa yang mengirim genderuwo itu, besok," jawab Diah.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
KUTUKAN (SUDAH TERBIT)
Terror[COMPLETED] "Jangan pernah pulang ke sana, jika kamu tidak mau mati sia-sia." Itu adalah pesan terakhir dari Ibunya sebelum meninggal dunia akibat penyakit aneh yang sudah menggerogoti tubuhnya selama bertahun-tahun. Diah ingin sekali menuruti pesan...