- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Safira meringis saat melihat foto yang ditunjukkan oleh Farah setelah cerita soal kejadian sore tadi. Lebam di wajah Diah sangatlah jelas terlihat. Sepertinya lebam itu akan lama bertahan jika tidak terus-menerus dikompres.
"Lalu, apakah tidak ada yang mendatangi rumah laki-laki yang memukul Diah?" tanya Safira.
"Paklik Eman dan Bulik Laila sudah mendatangi rumahnya menjelang maghrib tadi, Bu. Mereka marah besar pada Mas Deden dan memberi tahu kedua orangtuanya agar mengajari Mas Deden untuk tidak main kasar terhadap siapa pun. Mereka juga membahas soal keputusan Diah yang memilih Mas Raga di depan kedua orangtua Mas Deden. Menurut Paklik Eman, hal itu memang harus dilakukan agar Mas Deden tidak lagi mencoba untuk mengganggu hubungan Mas Raga dan Diah," jawab Farah.
"Itu adalah tindakan yang tepat. Ayah pun setuju dengan yang mereka lakukan untuk melindungi Diah. Meski Diah bukan anak mereka sendiri, tapi mereka sudah melaksanakan tugas sebagai orangtua dan Diah jelas tidak perlu menghadapi hal-hal seperti itu sendirian," ujar Irham.
"Lalu, apakah hubungan antara Raga dan Diah benar-benar terjadi? Maksud Ibu ... apakah Diah benar-benar menerima Raga, setelah Raga mengungkapkan perasaanya sore tadi?" Safira merasa penasaran.
Rosa berhenti melangkah dan tidak jadi masuk ke dalam rumah itu, saat mendengar pertanyaan yang Safira utarakan pada Farah. Ia berhenti tepat di depan pintu yang sejak tadi memang tidak tertutup rapat. Perasaannya cukup kaget, karena dirinya sama sekali tidak menduga bahwa Raga telah mengungkapkan perasannya pada Diah, tanpa melakukan pendekatan lebih dulu.
"Iya, Bu. Alhamdulillah Diah menerima pernyataan dari Mas Raga sore tadi. Kalau menurut Mas Fikri ... sebenarnya yang mengungkapkan perasaan lebih dulu bukanlah Mas Raga, tapi Diah. Diah mengatakan di depan Mas Fikri bahwa dirinya suka pada Mas Raga sejak awal bertemu, jadi Mas Fikri dilarang menyindir dan lain sebagainya agar Mas Raga tidak salah paham pada Diah. Tapi tanpa Diah tahu, ternyata Mas Raga sudah duduk di ruang tamu dan mendengar pernyataan itu. Mas Fikri bilang, wajah Diah seperti kepiting rebus ketika pernyataannya ketahuan oleh Mas Raga," jelas Farah, sambil menahan tawa.
Irham pun tertawa, karena tidak bisa membayangkan bagaimana canggungnya Diah saat akhirnya ketahuan oleh Raga. Safira menutup kedua matanya sambil tersenyum. Dirinya sadar tidak akan bisa menempati posisi Diah jika sampai tertangkap basah seperti itu. Rosa bernafas lega ketika tahu bahwa Raga tidak mendapatkan penolakan dari Diah. Bahkan kelegaannya menjadi berkali lipat saat tahu kalau Diah juga menyukai Raga sejak awal. Ia segera mendorong pintu rumah itu, lalu masuk karena harus membawakan seloyang puding untuk Safira.
"Kalian sedang membicarakan apa? Kenapa tampaknya pembicaraan kalian penuh dengan tawa?" tanya Rosa.
"Kami sedang membicarakan soal calon menantumu, Mbak," jawab Safira, to the point.
"Eh? Calon menantu? Wah ... memangnya siapa ...."
Farah segera memberikan ponselnya pada Rosa beserta earbuds. Ia memperlihatkan sesuatu pada Rosa, sehingga Rosa kini tampak tidak bisa mempercayai yang dilihatnya saat itu. Rosa mengembalikan ponsel dan earbuds yang dipakainya ke tangan Farah, lalu segera keluar dari rumah itu untuk pulang ke rumahnya sendiri.
"Kamu memperlihatkan apa pada Budemu, Nak?" tanya Safira.
Rosa tiba di rumahnya dan langsung menuju ke kamar Raga. Raga sedang memeriksa berkas-berkas miliknya yang akan dibawa ke kantor besok pagi, ketika Rosa masuk ke kamarnya.
"Ibu? Ada apa? Kenapa wajah Ibu terlihat ...."
"Kenapa kamu biarkan Diah sampai kena pukulan, Nak? Kenapa kamu tidak mencegah dia melindungi kamu? Terus kenapa juga kamu tidak bilang apa-apa sama Ibu soal kejadian sore tadi di rumah Keluarga Prawira ataupun soal hubunganmu dengan Diah? Kalau Ibu tidak mendengar Farah membicarakan soal hubunganmu dan Diah pada Paklik dan Bulikmu, maka Ibu tidak tahu apa-apa. Dan kalau Farah tidak memperlihatkan pada Ibu soal kejadian pemukulan itu, maka Ibu juga tidak akan tahu apa-apa," ungkap Rosa.
Rosa merasa begitu marah karena Raga tidak mengatakan apa pun padanya. Raga sendiri kini merasa bersalah, karena tidak segera memberi tahu orangtuanya mengenai yang ia lalui sore tadi. Ia tidak tahu kalau Rosa akan marah karena dirinya tidak mengatakan apa pun, bukan karena sudah tahu soal hubungannya dengan Diah.
"Sekarang bilang pada Ibu, bagaimana keadaan Diah? Apakah dia baik-baik saja?" tanya Rosa.
"Diah baik-baik saja, Bu. Hanya wajahnya menjadi lebam akibat kena pukulan dari Mas Deden," jawab Raga, sambil menundukkan kepalanya.
"Deden mau memukulmu, karena Deden juga suka pada Diah?"
"Iya, Bu."
"Dan Diah tetap memilih kamu, meski akhirnya tahu kalau Deden sudah lama suka padanya?"
"Iya, Bu."
"Meskipun kamu tidak ganteng-ganteng amat, tidak sebaik pria lain, dan sedikit menyebalkan pada waktu-waktu tertentu? Dia tetap memilih kamu?"
"Iya, Bu."
"Diah kesambet apa, ya, sehingga tetap memilih kamu meski tahu kamu punya banyak kekurangan?" heran Rosa.
"Ibu ...." protes Raga.
Rosa pun langsung menahan senyum, saat melihat wajah cemberut Raga yang kini sudah tidak menundukkan kepalanya.
"Duh, segitu sewotnya kamu hanya karena Ibu ragu atas kewarasan Diah. Kamu benar-benar suka sama dia sejak pertama bertemu? Diah benar-benar semenarik itu di matamu?" Rosa ingin tahu.
"Kenapa ditanya lagi, sih, Bu? Aku malu kalau harus menjelaskan semuanya sama Ibu dari awal," keluh Raga.
"Kenapa harus malu? 'Kan kamu ceritanya pada Ibu, bukan pada tetangga! Apa susahnya, sih, cerita soal perasaanmu terhadap Diah? Diah pun kalau Ibu suruh cerita soal perasaannya padamu sejak awal, pasti dia akan langsung cerita tanpa perlu mengeluarkan kalimat ...."
BRAKKK!!!
Raga dan Rosa terdiam seketika, setelah mendengar suara benda jatuh di atas atap rumah mereka. Yunus--yang sejak tadi ada di ruang tengah serta hanya mendengarkan pembicaraan antara Rosa dan Raga--pun segera masuk ke kamar Raga untuk memeriksa keadaan istri dan putranya.
"Suara apa itu, Yah? Kenapa ada lagi suara seperti itu padahal Raga sudah tidak terikat dengan ilmu penjerat?" tanya Rosa.
"Tidak tahu, Bu. Akan aku cari tahu dulu. Kalian diam saja di sini," jawab Yunus.
Ponsel Raga berdering, tepat sebelum Yunus pergi dari kamarnya. Raga mengangkat telepon itu karena melihat nama Diah pada layarnya.
"Ha--"
"Jangan keluar, Ga! Aku ada di luar dan akan menghadapi makhluk halus yang sepertinya diperintahkan untuk mengganggu penghuni rumahmu. Farah menghubungiku saat merasakan ada yang aneh di sekitar halaman depan. Jadi tetaplah di dalam bersama orangtuamu," jelas Diah.
"Ya, oke. Aku tidak akan keluar. Tapi kamu harus hati-hati. Jangan gegabah dan sebaiknya hindari jika makhluk itu masih bisa dihindari," mohon Raga.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
KUTUKAN (SUDAH TERBIT)
Horror[COMPLETED] "Jangan pernah pulang ke sana, jika kamu tidak mau mati sia-sia." Itu adalah pesan terakhir dari Ibunya sebelum meninggal dunia akibat penyakit aneh yang sudah menggerogoti tubuhnya selama bertahun-tahun. Diah ingin sekali menuruti pesan...