21 | Perdebatan Kecil

2.3K 188 7
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Diah masih bergelut di ruang kerjanya, meski waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Wanita itu bahkan melaksanakan shalat maghrib dan isya di sana, bukan di kamarnya seperti biasa. Pekerjaan Diah sudah hampir selesai dan hanya perlu dikirimkan hasilnya. Setelah itu Diah akan kembali bisa bersantai seperti dua hari terakhir, tanpa perlu memikirkan beban apa pun. Fikri naik ke lantai dua untuk membawakan susu cokelat yang tadi diinginkan oleh Diah. Pria itu tampaknya sedang menelepon seseorang, karena Diah bisa melihat layar ponsel Fikri dengan sangat jelas meski hanya sekilas.

Setelah meletakkan gelas di atas meja kerja Diah, Fikri pun segera beranjak menuju balkon dan melanjutkan pembicaraannya di telepon. Diah sendiri kini meraih ponselnya setelah mengirim hasil pekerjaannya melalui e-mail. Pesan dari grup WhatsApp yang dibuat Ayu tampaknya baru saja memulai obrolan, sehingga Diah tidak tertinggal untuk ikut mengacau di sana.

AYU
Assalamu'alaikum, sahabat-sahabatku. Mas crush aku baru saja lewat di depan rumah. Aku bisa lihat dia melalui jendela. Dia semakin ganteng dan aku semakin klepek-klepek ketika menatapnya. 🥲

RIDA
Wa'alaikumsalam. Teriaklah cepat, Yu. MAS!!! NIKAHI AKU!!!

DIAH
Wa'alaikumsalam. 🤣🤣🤣 Astaghfirullah, Da! Tolong jangan menyarankan hal gila macam itu pada Ayu. Aku enggak bisa membayangkan kalau dia benar-benar melakukannya.

FARAH
Wa'alaikumsalam. Apa enggak akan ada warga yang lihat, ya, kalau Ayu sampai teriak begitu, Da? Apa enggak akan ada yang memberi dia cap ... GILA? 🤭

RIDA
Itulah tujuanku, Far. Biar dia dicap gila sekalian, daripada cuma kita bertiga saja yang tahu kalau dia itu gila gara-gara memendam perasaan terus sama Mas crush-nya.

AYU
Sontoloyo kamu, Da! Siapa yang gila, hah? Siapa? 😤

DIAH
Cup-cup-cup, Ayu Sayang. Siapa yang nakal, hm? Siapa? Sini, biar aku yang jitak kepalanya.

RIDA
Yakin mau jitak aku? Sudah siap menerima jurus, Di? 😌

FARAH
Maju, Di! Aku mendukungmu!

DIAH
Far ... jangan gitu dong. Jangan dorong aku untuk maju ke hadapan singa. 😭

AYU
Lah, terus kenapa kamu tadi menawari akan menjitak kepala orang yang menggangguku, Di? Giliran ditantang balik sama Rida, kamu malah mundur alon-alon.

DIAH
Daripada kamu, kalau ketemu Mas crush ... maju tidak mundur tak mau 🤪

AYU
DIAH!!! AWAS KAMU YA!!! 😭

Di rumahnya, Farah tertawa sendiri sambil menatap layar ponsel. Raga--yang baru saja datang ke rumah itu untuk mengantar makanan yang dimasak oleh Ibunya--menatap heran ke arah Farah. Tidak biasanya Farah tertawa lepas seperti itu. Farah biasanya hanya diam dan murung sepanjang waktu, bahkan saat Raga mengajaknya bicara sekalipun. Hal itu membuat Raga mendekat pada Farah dan duduk tepat di sampingnya.

"Kamu sedang menertawai apa, Far? Kok tumben aku mendengar kamu tertawa seperti ini. Kamu sedang ngobrol dengan siapa?" tanya Raga, sambil menatap ke arah ponsel milik Farah.

"Aku sedang ngobrol dengan teman-temanku, Mas," jawab Farah.

"Teman-temanmu? Siapa saja mereka? Sejak kapan kamu punya teman?" Raga merasa heran.

"Aku kenal mereka sejak siang tadi. Diah salah satunya. Lalu dua orang lainnya adalah sahabat baik Diah, yaitu Rida dan Ayu."

Kedua mata Raga mendadak membola usai mendengar jawaban Farah. Safira dan Irham--Ayah dan Ibu Farah--hanya ikut mendengarkan sambil sesekali menatap ke arah putri serta keponakan mereka.

"Diah? Loh, kok, jadi kamu yang duluan akrab sama Diah, sih? 'Kan seharusnya aku yang ...."

"Alah! Mas Raga terlalu lama gerakannya! Diah sudah menyebutkan nama dan nomor teleponnya pun, Mas Raga malah lambat loading dan tidak ingat untuk mencatat. Kalau bukan aku yang catat nomor teleponnya Diah, Mas Raga hanya akan mendapat kenang-kenangan karena pernah mengobrol singkat sama dia di warung makan Pak Tarjo," omel Farah.

Irham dan Safira mendadak tertawa usai mendengar omelan Farah kepada Raga. Raga langsung berjengit ngeri, saat tahu kalau Farah ternyata bisa mengomel pada orang lain.

"A-ampun, Far. Iya ... aku yang salah karena terlalu lambat loading. Jadi ... Diah bilang apa padamu barusan?" Raga berusaha mencari tahu.

"Intinya kami berempat tidak membahas Mas Raga sama sekali. Kami hanya membicarakan hal yang benar-benar menghibur, bukan yang bisa bikin sakit kepala seperti Mas Raga."

"Eh? Maksudmu, Diah sama sekali tidak membicarakan aku? Dan maksudmu, Diah tidak sudi membicarakan aku?" duga Raga.

"Untuk apa Diah membicarakan pria yang belum dia kenal? Mas Raga bahkan belum mencoba menghubungi Diah setelah tahu nomor teleponnya, 'kan? Mas Raga juga belum memberi tahu Diah soal nama Mas sendiri. Enggak mungkinlah Diah mau memulai duluan. Dia 'kan wanita, Mas. Pria yang seharusnya memulai duluan kalau memang mau melakukan pendekatan. Lagi pula kalau pun Diah mau memulai duluan, Diah 'kan enggak tahu nomor telepon Mas Raga. Jadi bagaimana dia mau hubungi Mas Raga, coba?" jelas Farah, agar Raga segera sadar.

Raga pun memejamkan kedua mata sambil menepuk keningnya. Ia merasa malu sekali, karena Farah jauh lebih paham bagaimana caranya mendekati seseorang ketimbang dirinya sendiri.

"Benar kata Farah, Ga. Seharusnya kamu yang memulai duluan kalau mau pendekatan dengan seseorang. Jangan menunggu kamu yang didekati. Karena wanita biasanya merasa minder jika harus mendekati pria lebih dulu," ujar Irham.

"Tapi aku enggak tahu cara bicara yang tepat sama dia, Paklik. Aku bingung," ungkap Raga dengan jujur.

"Astaghfirullah, Mas Raga! Kok Mas Raga malah bingung, sih?" tegur Farah.

Safira, Irham, maupun Raga mendadak kaget saat mendengar Farah mengucapkan kalimat istighfar. Dalam keluarga mereka tidak pernah satu kali pun ada yang mengucapkan kalimat seperti itu, meski mereka beragama Islam sejak lahir. Apa yang pernah terjadi dimasa lalu membuat mereka tidak pernah lagi menyentuh ranah keagamaan. Bahkan tidak pernah ada yang mengajari Raga serta Farah untuk mengucapkan kalimat-kalimat Allah, meski hanya satu kali.

"Apa susahnya menghubungi Diah lebih dulu? Mas Raga hanya perlu bilang ... 'Assalamu'alaikum Diah Arasti Prawira, aku Raga Wardana yang tadi bertemu kamu di warung makan Pak Tarjo. Boleh kita saling mengenal lebih dekat?', sudah, beres. Ayo ... cepat dicoba," dorong Farah.

Rasa kaget Safira dan Irham tentu saja semakin menjadi-jadi, setelah mendengar nama lengkap Diah. Raga sendiri kini masih menatap ke arah Farah dengan tatapan yang penuh keraguan.

"Kamu lupa siapa itu Keluarga Prawira? Menurutmu, kenapa aku menunda-nunda untuk menghubungi Diah sejak mendapatkan nomor teleponnya? Kalau dia tahu aku ini anak Keluarga Wardana, menurutmu apakah dia tidak akan langsung membenciku?" Raga mencoba mengingatkan Farah.

"Dia tahu kalau aku Putri Keluarga Wardana, Mas," balas Farah. "Dan dia tidak membahas apa pun tentang itu ketika tahu siapa aku. Dia sama sekali tidak mengungkit apa pun, meski hidupnya mungkin sangat menderita akibat kutukan yang pernah Kakek ucapkan untuk keluarganya."

* * *

KUTUKAN (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang