41 | Ingatan Yang Sulit Dilupakan

2K 158 13
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Rusdi telah mempersiapkan segalanya, seperti yang sudah Diah duga. Rusdi tidak tahu kalau Diah sengaja memancing amarahnya, melalui pembicaraan empat mata yang tadi terjadi di halaman rumah Keluarga Prawira. Diam-diam, Diah telah mencurigainya sejak beberapa hari lalu. Kecurigaannya terhadap Rusdi membuat Diah terus saja memutar otak, agar berhasil mengoyak topeng yang Rusdi pakai selama ini.

Laki-laki itu hanya selalu berpura-pura sabar, berpura-pura simpati pada hidup Diah yang kini tinggal sebatang kara. Namun kepura-puraan itu sama sekali tidak membuat pikiran Diah menjadi bias. Kecurigaan Diah dimulai ketika dirinya menghadapi genderuwo yang datang ke lantai dua rumahnya. Saat itu, hanya Rusdi seorang yang tidak terlihat kaget dengan kemampuan Diah. Seakan laki-laki itu sudah tahu, karena sudah lama mengawasi Diah melalui makhluk-makhluk suruhannya.

Rusdi sendiri saat ini tetap berpegang teguh dengan ambisinya. Meski Diah sudah menegaskan soal batasan antara keluarganya dan Keluarga Prawira, tetap saja Rusdi tidak ingin mundur dari apa yang sudah dia harapkan selama bertahun-tahun. Laki-laki itu tidak ingin ada yang gagal lagi di dalam hidupnya, setelah apa yang dia inginkan gagal berkali-kali. Rusdi merasa jika tujuannya harus segera terwujud melalui Diah. Ia tidak boleh berlama-lama membiarkan Diah tetap dekat dengan Raga. Baginya, tidak boleh Keluarga Prawira kembali memiliki hubungan baik dengan Keluarga Wardana seperti dimasa lalu. Ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Karena entah mengapa dirinya merasa marah jika mengingat betapa dekatnya hubungan baik antar dua keluarga tersebut, terutama soal dekatnya antara Almarhum Abdi dengan Rosa dan Safira.

"Assalamu'alaikum, Mas Abdi," sapa Safira.

Abdi langsung berhenti membaca buku di teras belakang rumahnya, dan tersenyum saat tahu kalau Safira dan Rosa datang untuk berkunjung. Rusdi hanya bisa mengikuti kedua wanita itu, karena dirinya memang bekerja pada Keluarga Wardana dan diminta untuk menjaga Rosa dan Safira.

"Wa'alaikumsalam, Adik-adiknya Mas yang cantik. Apakah kalian datang ke sini hanya bertiga?" tanya Abdi, seraya tersenyum ramah.

"Iya, Mas. Kami hanya datang bertiga ke sini. Bapak dan Ibu akan menyusul nanti, setelah mengurus beberapa hal," jawab Rosa.

"Kalau begitu, ayo, duduk di teras bersamaku. Aku akan pergi ke dalam dulu sebentar untuk meminta dibawakan minuman dan cemilan untuk kalian," ajak Abdi.

Rosa dan Safira segera beranjak menuju kursi yang tersedia di teras belakang rumah tersebut. Abdi sudah masuk ke dalam rumah untuk menemui asisten rumah tangga. Rusdi sendiri hanya duduk di tangga dan menunggu, meski sebenarnya ia juga ingin ikut duduk bersama Rosa dan Safira. Namun hal itu jelas tidak bisa dilakukannya, karena Safira pasti akan mengatakan pada Sutomo dan Winarti bahwa dirinya tidak menempatkan diri ketika berada di rumah orang lain. Perbedaan kasta itulah yang selalu saja diajarkan oleh Sutomo kepada kedua putrinya, sehingga mereka sangat patuh untuk memenuhi ekspektasi orangtuanya.

Abdi keluar tak lama kemudian bersama asisten rumah tangga yang langsung menyajikan minuman dan cemilan. Tatapan Abdi tertuju kepada Rusdi yang saat itu duduk di tangga sambil menatap halaman belakang. Setelah asisten rumah tangga kembali ke dalam rumah, Abdi pun segera mendekat pada Rusdi karena tidak ingin membiarkannya terus duduk di tangga sendirian.

"Rus, ayo ikut duduk bersama kami. Jangan duduk di sini sendirian," ajak Abdi, yang sejak dulu tidak pernah memikirkan soal kasta dan perbedaan apa pun terhadap orang lain.

Rusdi pun menurutinya, lalu ikut duduk bersama Rosa, Safira, dan Abdi di kursi teras belakang rumah tersebut. Abdi mempersilakan mereka bertiga untuk minum dan menikmati cemilan yang tersaji. Mereka mengobrol dengan hangat, hingga benar-benar lupa soal perbedaan yang selalu dibahas dalam Keluarga Wardana.

"Orangtua kalian sudah datang. Mereka saat ini ada di ruang tamu bersama Ayah dan Ibuku," ujar Abdi.

"Biarkan saja, Mas Abdi. Mereka mungkin ingin membicarakan soal bisnis lagi. Kami tidak mau ikut serta di sana," ujar Rosa, apa adanya.

Abdi pun tertawa usai mendengar yang Rosa katakan. Ia tahu persis kalau Rosa tidak terlalu suka berada di tengah-tengah orang dewasa yang sibuk membicarakan bisnis. Sekarang, saat Rosa mengutarakannya secara langsung, ia semakin yakin bahwa Rosa memang tidak cocok untuk diandalkan dalam urusan bisnis oleh Keluarga Wardana.

"Eh, aku ke dalam sebentar, ya. Aku mau simpan dulu buku ini. Aku akan kembali lagi dan mengambil tambahan cemilan untuk kalian," pamit Abdi.

Setelah Abdi masuk ke dalam rumah, Sutomo dan Suryo keluar menuju teras belakang rumah. Tatapan Sutomo langsung terarah pada Rusdi, yang saat itu sedang duduk bersama dengan Rosa dan Safira.

"Rusdi! Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu ikut duduk di kursi bersama Rosa dan Safira?" tanya Sutomo, begitu marah.

"Itu, Pak. Mas Rusdi tadi ...."

"Diam kamu, Rosa! Tutup mulutmu dan jangan coba-coba membela Rusdi!" bentak Sutomo.

Rosa langsung diam dalam ketakutan, begitu pula dengan Safira. Rusdi baru saja akan bangkit dari kursi yang didudukinya, ketika Sutomo menyeret lengannya dengan kasar hingga membuatnya jatuh tersungkur di teras belakang rumah tersebut. Suryo begitu kaget dengan tindakan Sutomo terhadap Rusdi. Abdi--yang baru keluar dari rumah--pun sama kagetnya dan segera meraih tubuh Rusdi agar bisa ia bantu berdiri.

"Paklik Tomo kenapa kasar sekali? Kenapa Paklik sampai membanting Rusdi seperti barusan?" tanya Abdi, tidak bisa menyembunyikan rasa marahnya.

"Itu karena dia sudah bertindak kurang ajar! Dia berani ikut duduk bersama Rosa, Safira, dan kamu di meja itu, padahal dia hanya seorang pembantu!" jawab Sutomo, tegas.

"Aku yang menyuruh Rusdi ikut duduk bersama kami. Aku tidak bisa membiarkannya duduk sendirian di tangga, sementara kami duduk bersama di kursi teras. Andai Eman saat ini sedang tidak sibuk membantu Ibunya di dapur, aku pun akan meminta Eman untuk ikut duduk bersama kami agar Rusdi tidak merasa canggung. Sejak kapan ada peraturan yang melarang seorang pembantu duduk di tempat yang sama dengan majikannya? Memangnya pembantu bukan manusia, sehingga harus diperlakukan dengan kejam seperti itu?"

Abdi benar-benar murka setelah mendengar jawaban yang Sutomo berikan. Ia marah dan tidak berusaha menyembunyikan kemarahannya, meski tahu kalau Sutomo adalah teman dekat Ayahnya. Suryo sama sekali tidak berkomentar dan hanya melayangkan tatapan kecewanya kepada Sutomo.

Sejak hari itu, Rusdi menaruh dendam dan berambisi untuk mendapatkan Rosa, meski Abdi sudah membelanya habis-habisan. Ia ingin membalas dendam pada Sutomo atas sikap kejamnya yang berhasil membuat Rusdi merasa malu. Ingatan masa lalu itu sulit untuk dihapus dari pikiran Rusdi. Laki-laki itu terus mengingatnya sampai detik ini.

"Sekarang, Diah adalah senjataku untuk membalas dendam. Raga harus merasakan penderitaan, karena dia tidak akan bisa memiliki Diah. Diah hanya akan dimiliki oleh Putraku, Deden!" tegas Rusdi, sambil menatap ke arah rumah Keluarga Wardana dari dalam gubuk miliknya.

* * *

KUTUKAN (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang