35 | Memperjelas

2.1K 177 15
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Diah kembali menatap benda yang pernah terikat di tangan Raga, ketika dirinya berada di kamar. Ia duduk di tepian tempat tidur seraya memangku kotak kayu yang menjadi tempat penyimpanan benda itu.

"Sebentar lagi benda ini akan menjadi yang paling dicari oleh si pembuat onar. Kalau aku mengusik gubuk itu, dia pasti akan menyadari bahwa benda ini belum aku musnahkan. Aku ingin mempermainkannya lebih dulu, sebelum membongkar kebusukannya selama ini," gumam Diah.

Kotak kayu itu kembali ditutup olehnya, lalu disimpan pada tempat biasa agar aman. Diah kini berjalan ke arah jendela. Tatapnya terarah pada pemandangan indah di luar sana. Jemari wanita itu memainkan liontin kalung milik Almarhumah Ibunya, sambil mengingat wajah seluruh anggota keluarganya yang telah tiada.

"Seharusnya tidak perlu ada yang pergi dari sini dua belas tahun lalu, Bu. Kita semua ditipu. Kita semua diperdaya oleh orang itu tanpa kita sadari. Tapi Insya Allah, aku akan membereskan semuanya agar hal-hal buruk bisa segera berhenti terjadi," janji Diah.

Wanita itu segera berbalik dan keluar dari kamarnya. Keadaan rumah begitu sepi, hanya ada Laila yang sedang menyusun belanjaan di kulkas dapur.

"Bulik, Mas Fikri ke mana, ya?" tanya Diah.

"Fikri sedang pergi ke minimarket, Non. Ada beberapa barang yang tidak Bulik dapatkan di pasar," jawab Laila, seraya tersenyum dan mengusap rambut Diah dengan lembut.

"Mm ... kalau begitu aku ke halaman dulu, ya, Bulik. Aku mau cari udara segar," ujar Diah.

"Iya, Non. Di luar ada Paklik. Non Diah tidak sendirian meski Fikri belum pulang."

Diah benar-benar pergi keluar rumah dan berjalan-jalan di halaman. Eman ada di halaman, persis seperti yang Laila katakan. Hanya saja, ternyata Eman sedang tidak sendirian saat itu. Rusdi ada bersamanya. Entah sedang membicarakan apa mereka berdua, yang pasti Eman tampak tidak terlalu menanggapi seperti biasanya. Sejak terjadinya peristiwa pemukulan yang Deden lakukan dan Diah menjadi korban, Eman benar-benar marah dan enggan untuk sekedar bertemu dengan Rusdi. Deden memang tidak pernah lagi menginjakkan kaki ke halaman rumah Keluarga Prawira, setelah Eman dan Laila datang ke rumahnya dengan perasaan marah. Namun hal itu jelas tidak akan mengubah apa pun yang sudah terjadi, karena Eman merasa Rusdi tidak benar-benar bisa mendidik Deden dengan baik.

"Paklik," sapa Diah, seraya tersenyum seperti biasanya.

"Eh, Non Diah. Tidak jadi tidur siang, Non?" tanya Eman.

Ekspresi Eman langsung berubah total setelah ada Diah di sampingnya. Sangat berbeda dengan ekspresinya tadi ketika hanya berdua saja dengan Rusdi.

"Aku tidak bisa tidur, Paklik. Makanya aku keluar lagi dari kamar. Tadinya mau ngobrol sama Mas Fikri. Tapi kata Bulik, Mas Fikri pergi ke minimarket karena ada beberapa barang yang tidak bisa Bulik temukan saat berbelanja di pasar," jawab Diah.

"Keadaan Nak Diah, bagaimana? Apakah bekas pukulan yang Deden lakukan sudah membaik?" tanya Rusdi.

Eman sempat melirik sekilas ke arah Rusdi, ketika mendengar pertanyaan yang dia ajukan Diah. Diah kini menatap ke arah Rusdi seraya tersenyum seperti biasanya, seakan tidak pernah terjadi apa pun.

"Sudah tidak sakit, Pak RT. Hanya tersisa lebamnya saja di wajahku," jawab Diah.

Rusdi maupun Eman agak sedikit kaget, karena Diah memilih untuk memanggil Rusdi dengan panggilan Pak RT. Sejak dulu Diah selalu memanggil Rusdi dengan panggilan 'Pakde', karena tahu bahwa Rusdi dulu adalah teman dekat Almarhum Abdi, yang notabene usianya lebih muda satu tahun dari Rusdi. Entah mengapa Diah tidak lagi memanggil dengan panggilan yang sama. Rusdi jelas merasa tidak terbiasa dengan hal itu.

"Tumben sekali Nak Diah memanggil dengan panggilan yang berbeda. Apakah, Nak Diah masih merasa marah atas tindakan Deden yang kemarin sore hampir memukul Nak Raga?" Rusdi ingin tahu.

Senyum di wajah Diah belum memudar sama sekali. Ia berjalan mendekat ke arah Rusdi, setelah memberi tanda pada Eman agar sedikit menjauh. Eman masih memperhatikan dan tidak benar-benar beranjak meninggalkan kedua orang tersebut. Apa pun yang akan Diah katakan ataupun yang akan Rusdi tanggapi, ia merasa harus tahu secara terbuka.

"Pertama, jawabannya adalah ya, aku masih merasa marah terhadap Mas Deden yang hampir memukul Raga tanpa alasan. Raga tidak mengenalnya. Raga bahkan tidak punya masalah apa pun dengannya. Bagiku, tindakan Mas Deden sudah sangat keterlaluan. Raga telah menjadi kekasihku ketika Mas Deden akan memukulnya, jadi aku berhak merasa marah padanya," ujar Diah.

Rusdi tidak bisa mengatakan apa-apa. Dia hanya diam ketika Diah bicara. Eman sama sekali tidak menghentikan Diah. Eman merasa Diah memang berhak bicara apa pun yang dia inginkan di hadapan Rusdi, untuk mengungkapkan apa pun yang tidak disukainya.

"Kedua, aku memanggil anda dengan panggilan Pak RT karena memang jabatan anda saat ini adalah RT di Desa Benowo. Lagipula, aku tidak wajib memanggil anda 'Pakde', karena anda bukan bagian dari Keluarga Prawira. Aku memanggil Paklik dan Bulik kepada Paklik Eman dan Bulik Laila, karena mereka sudah dianggap keluarga sendiri oleh seluruh anggota keluargaku, termasuk diriku. Aku akan dianggap kurang ajar jika berani memanggil mereka dengan panggilan yang lain. Tapi kepada anda, tidak akan ada yang menaggapku kurang ajar jika mengubah panggilan menjadi Pak RT atau Pak Rusdi. Aku bahkan sudah mengatakannya pada Mas Deden soal status hubungan kita yang bukan keluarga, ketika dia berhasil memukul wajahku. Jadi untuk memperjelas dan untuk membuat Mas Deden sadar soal status hubungannya denganku, maka aku tidak akan lagi memanggil anda 'Pakde' seperti dulu. Aku yakin, Almarhum Ayahku tidak akan keberatan dengan keputusanku ini jika Beliau masih hidup. Beliau justru akan setuju, terutama jika sampai melihat apa yang hampir terjadi pada calon menantunya jika aku tidak menghalangi tindakan jahat Mas Deden."

Eman tidak memberi tanggapan sama sekali. Baginya, Diah berhak menentukan apa pun yang dirasa benar dalam hidupnya. Diah sudah dewasa, bukan lagi anak kecil yang dulu wajib dijaga atas perintah dari Almarhum Abdi. Diah sudah mendapatkan jati dirinya dan sangatlah wajar jika wanita itu selalu berani mengambil keputusan, jika merasa keputusannya tidak akan merugikan siapa pun. Lagipula menurut Eman, sejauh ini Diah masih bicara dengan sopan dan sama sekali tidak ada nada emosi di dalam kalimatnya ketika mengutarakan jawaban di hadapan Rusdi.

"Aku harap Pak RT tidak akan merasa tersinggung dengan keputusanku. Aku tidak ingin marah di hadapan Mas Deden ataupun di hadapan kedua orangtuanya atas tindakan jahatnya yang tertuju pada Raga. Jadi, inilah jalan terbaik yang bisa aku pikirkan agar hubungan kita tidak merenggang. Aku harap Pak RT akan memahami keputusanku sebagai salah satu anggota Keluarga Prawira," harap Diah.

Rusdi pun berusaha tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya tanpa bicara apa-apa. Ia ingin sekali marah kepada Diah, karena merasa Diah sudah terlalu kurang ajar padanya hingga berani bicara seperti itu. Sayangnya, Eman sepertinya tidak merasa bahwa Diah melakukan kesalahan. Seakan Diah memang sudah dianggap pantas untuk memutuskan sesuatu di dalam Keluarga Prawira.

* * *

KUTUKAN (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang