"KLARIFIKASI!"
Haru berhenti, menoleh pada lelaki itu di belakangnya. "apa?" Perjalanan menuju kelas pagi ini jadi terganggu karena kedatangan Regan dan Jana.
"apa ini, Ru?! APA INI?!" Jana menunjukkan ponselnya. "gua lagi nunggu jemputan, dan lu daripada nganterin gua pulang, malah nganterin Daffa. EMANG KALIAN KENAL?!"
"jangan deket-deket sama Daffa, ntar lu ditandain sama STM sebelah, mampus," cibir Regan.
Haru kembali berjalan, masih terlalu pagi untuk menanggapi pertanyaan tidak bermutu dari dua temannya.
"kenapa ditandain? gua ga berbuat salah." Walau begitu tetap membalas.
"soalnya lu berteman sama Daffa," sahut Jana.
Berdua dengan Regan turut mengekori Haru.
"Daffa juga ga berbuat salah?"
"Daffa berbuat salah! lu aja yang ga tau!" dengus Regan kesal.
Diingat lagi perjalanan pulang kemarin topiknya hanya kemana jalan setelah ini lalu kemana dan kemana. Tidak membahas hal di luar itu. Lalu ucapan terima kasih dari Daffa sebelum membiarkan Haru pergi setelah mengantarnya.
Padahal Haru penasaran, seharusnya sore kemarin Daffa tidak langsung pulang karena anak-anak ULTRAS yang lain masih ada di sekolah.
"salahnya apa?" tanya Haru begitu masuk kelas dan duduk di kursinya.
Regan ikut duduk di sembarang kursi, karena bukan kelas mereka. Sementara Jana meletakkan tas dulu pada bangkunya baru menyusul dua temannya.
"bikin jelek nama sekolah kita tau?" lanjut Jana.
"bukannya itu mah semua anak yang ikut tawuran. kenapa Daffa doang?" cibir Haru.
"huru-hara kan dia yang provokasi."
"masih rumor elah. yang salah mah semua—"
"kok lu jadi membela Daffa?!" seru Regan malas.
Sukses membuat si April mengerutkan kening. "siapa yang membela, kampret?" Membalas ketus. "lagian dia kelihatan bukan orang kayak gitu..." gumamnya pelan, masih dapat didengar.
"nah itu mah lu ga boleh menilai orang dari sampulnya."
"apa bedanya lu yang menilai orang dari cerita orang lain?" Haru berdecak kesal. Padahal ia sudah lupa jika kemarin sempat mengantarkan Daffa pulang. Regan dan Jana mengacaukan otaknya, karena Haru lebih suka jika ia lupa saja.
"pagi-pagi ribuuut! minimal kalo ghibahin orang jangan pas ada temennya dong!"
Lagi-lagi seruan dari arah pintu, —Bian, si wakil ketua OSIS baru datang. Tanpa meletakkan tas dulu, ia turut bergabung dengan mereka.
"tadi lu belum dateng," cebik Jana.
"kenapa Daffa? gua juga kepo kemarin lu pulang bareng Daffa, dia ga ikut latihan katanya sakit." Tahu-tahu Bian menatap Haru juga meminta penjelasan.
"gua lebih kepo kenapa lu lebih milih ULTRAS daripada rapat ntar sore," balas Haru sengit.
"loh..." Bian cengengesan, rupanya salah agenda menghampiri Haru pagi ini.
"tau nih. ULTRAS kehilangan lu doang kan masih bisa jalan orang isinya banyak."
Pengalihan topik berhasil, Regan terkecoh, kini memandang Bian. Diam-diam Haru menghembuskan napas lega, tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan tidak penting tadi.
"sama, OSIS kan isinya juga banyak. harusnya bisa dong tanpa gua." Niatnya hanya becanda, tapi mood si wakil ketua MPK nampak ingin serius.
"lu ga tanggung jawab namanya. lepas aja sana jabatan wakil ketua kalo ga becus bantuin ketuanya. kasihan Vano." Nada bicaranya tenang, tapi menusuk bagi Bian.
🦋🦋🦋
bian te1
gua kaga jadi ikut dah ntar sore
lah kenapa
terus gua nebeng siapa?yang lain banyak, sama juan jg orangnya mau ntar
habis dimarahin haru, salah gua juga sihdimarahin kenapa buset
ntar sore ada rapat osis kan tapi gua kemaren bilang ke vano ga bisa soalnya ada futsal
haduh emang salah gua
ga enak jg gua sama vanokenapa lu baru merasa bersalah setelah dimarahin haru
kemaren rasa bersalahnya kemanagatau, daf
emang kayaknya semua murid di sekolah kalo salah harus haru yang marahin biar sadarDaffa sendirian, berdiri di depan kelasnya menyandarkan diri di pintu yang tertutup satu. Mendongak setelah atensinya ditarik oleh sosok yang dibicarakannya dan Bian di chat, tengah berjalan mendekat.
"baju lu."
"oh?"
Sampai lupa jika dua hari lalu meminjamkan seragam olahraga pada Haru.
"makasih." Mereka berucap bersamaan sembari Daffa mengambil paper bag yang disodorkan padanya.
Haru diam saja kemudian. Lalu berbalik badan, hendak kembali ke kelas.
"tasnya kebagusan. gua kembaliin aja," celetukan Daffa menghentikan langkahnya.
"ga usah," tolak Haru.
Lalu benar-benar pergi. Daffa mengerutkan kening melihat perbedaan sifat dari lelaki itu. Kembali mengingat sepertinya mereka pernah berkomunikasi selain saat pagi usai Haru menabrak Galang, ia menumpahkan es, dan kemarin sore.
Daffa berusaha mengingat. Tapi selalu tidak bisa dan berakhir kesal sendiri.
Haru itu anak kepala sekolah. Banyak orang segan padanya. Tapi sebelum Ayah Haru pindah kemari, Haru pun juga sudah disegani. Daripada ketua MPK dan ketua OSIS sendiri.
"Daf, Aldo belum berangkat?"
Suara seseorang membuyarkan lamunannya. Daffa menoleh, pada Vano, tepat sekali tadi muncul di otaknya.
"orang-orang kenapa pada panjang umur." Daripada menjawab, Daffa bergumam sendiri.
"semoga iya. jadi Aldo udah berangkat belom?" tanya Vano sedikit sebal.
"kayaknya ga berangkat dia," jawab Daffa.
"suratnya izin berangkat siang kok, bukan ga berangkat." Vano menghela napas kasar.
"tadinya gitu tapi ga jadi praktek kelas gua. ntar sore Bian ikut rapat kok."
Dari yang semula wajahnya lesu, mendengar itu Vano menegakkan badan. "iya? ga jadi tanding? udah kalah?"
"sembarangan!" Daffa mendengus. "jadi. tapi Bian ikut rapat aja," lanjutnya.
"oh okee! makasih ya!!"
Vano senang, kembali ke kelasnya. Mereka satu jurusan, sama-sama sedang ada praktikum di bengkel, jadi kelas mereka bersampingan sekarang.
Tiba-tiba Daffa teringat lagi, Haru yang mudahnya masuk kemari padahal jurusan lain tidak diperbolehkan masuk ke bengkel jurusan yang bukan jurusan mereka.
"anak emas emang beda."
aku mau kasih denah sekolah mereka deh...
ADUH MAAF YA TULISANNYA KEA CEKER AYAM T__T
KAMU SEDANG MEMBACA
highway • harubby (another story about school life)
Teen FictionLembaran cerita tentang Haru, si murid STM yang meyakini di bumi ini tidak ada orang jahat dan orang baik, hanya berisi orang-orang sedang menjalani hidup. "menjalani hidup tuh nggak selalu harus tawuran, Daf." "gua bukan tawuran, Ru." "balas denda...