•35 - realita

322 67 9
                                    

Seharusnya pagi ini Haru menjemput Daffa seperti yang kemarin ia katakan. Seharusnya sekarang Daffa sudah turun bersamanya di sekolah. Namun, ia tak menemukan si empu dan Haru diberi tahu oleh tetangga jika Daffa sudah berangkat lebih awal.

Ia tak tahu, bahkan Daffa tidak memberinya kabar apa pun.

Kakinya sedikit tergesa menuju kelas Daffa, memastikan anak itu benar-benar berada di sekolah sekarang. Namun, yang ditemui Haru sekarang hanya Aldo, isi kelas dipenuhi tas-tas tanpa pemiliknya.

Sekarang pun Aldo juga terlihat ingin keluar.

"Galang, meninggal."

Hal yang bahkan tidak pernah Haru bayangkan.

"Ru," panggil Aldo, menahan kedua pundak Haru dirasa lelaki itu hampir oleng.

"Do..."

"HARU!"

Suara Daffa, matanya merah, entah karena marah atau menangis. Berjalan cepat ke arah Aldo dan Haru. Langsung menarik kerah Haru dan menjatuhkan lelaki itu begitu saja pada dinding kelas.

"Daf!" bentak Aldo, hendak menahan tangan Daffa cepat tapi ditepis begitu saja.

"LU KENAPA GA ANTER DIA SEMALEM?!" Daffa marah, ia memukul dada Haru satu kali dengan tangannya yang bergetar.

Ia tidak kuat, untuk terus memukul Haru sekarang, walau sebenarnya bisa untuknya membuat lelaki berstatus anak kepala sekolah itu babak belur juga.

Sama seperti ketika tubuh Galang ditemukan oleh pak senin sekolah. Banyak luka disekujur tubuhnya. Tempat kejadian perkara itu ada di samping sekolah persis, tempat yang sama dengan dua tahun lalu.

Semua murid sedang di luar, menebus rasa penasaran mereka mengenai berita salah satu anak otomotif yang meninggal akibat dikeroyok. Banyak polisi, bahkan Ayah Daffa ada di sekolah.

Sementara Daffa, lututnya terasa lemas, ia tak sanggup berjongkok lagi. Lantas tubuhnya ambruk, tepat di samping Haru yang jatuh bersandar pada dinding. Tangannya tak mampu bergerak lagi untuk memukul tubuh yang lebih besar.

Kepalanya terjatuh di atas badan Haru, ia menangis begitu keras.

"Galang bukan pembunuh, Ru... itu, kelempar dari anak lain di sana. lu bisa cek cctv, lu bisa tanya gua dulu, lu bahkan bisa nanya Gavin. Dia temen deket lu kan...? kenapa lu biarin dia pulang sendiriann..."

Haru tertegun, ia terkejut mendengar pernyataan ini. Seorang Gavin yang ia pikir tidak ada hubungannya dengan Daffa, kini disebut-sebut.

Di pintu, Aldo masih diam. Ia tak tahu apa yang terjadi di antara mereka. Yang ia paham, mungkin Daffa begitu terpukul karena kematian Galang. Dalam hatinya bersyukur sekarang di kelas, bahkan sampai lorong ini benar-benar tidak ada orang selain mereka.

"ayo putus."

Hingga beberapa saat hanya ditemani tangisan Daffa, kini si empu berucap sesuatu yang tidak pernah Haru bayangkan akan terjadi secepat ini. Kepalanya mendongak, mata sembab yang terlihat sangat menyakitkan itu, membuat hati Haru semakin tergores.

"Daf." Aldo juga kaget, mendekat turut berjongkok di dekat mereka.

"lu boleh pukulin gua sepuasnya, tapi jangan putus," balas Haru, lirih. Ia tidak pernah merasa se-pasrah ini.

Tetap saja Daffa menggeleng. Lagipula benar jika dunia mereka berbeda.

"anggep aja lu ga pernah denger apa-apa ya, tolong," ucap Daffa sembari berdiri. Mengusap pipi basahnya dengan kasar.

Jika biasanya ia akan memukuli habis-habisan orang yang membuatnya marah. Maka tidak untuk Haru. Rasa marahnya berbeda, dadanya terasa lebih sakit.

Tersisa Aldo dan Haru di dalam kelas. Si ketua kelas, tak bisa mengatakan apa-apa selain membantu Haru untuk berdiri. Wajah wakilnya itu tidak lagi datar.

highway • harubby (another story about school life)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang