•14 - nasihat evo

355 67 2
                                    

"kalo suka tuh jangan denial."

Haru mendongak usai hampir 5 menit hanya diam di tempatnya.

"lu kemaren-kemaren ga keliatan, nongol bilang gitu. maksudnya apa?" Ia bertanya, pada Evo yang ikut duduk di sampingnya.

Jam istirahat, di taman belakang aula. Sepi di sana, hanya ada Haru dan Evo.

"lu sama Daffa. gua capek dengerin Regan ngomentarin pacarnya yang deket-deket orang lain mulu padahal mah si Jovan panitia."

Haru tertawa kecil mendengar keluhan Evo.

"mending dengerin cerita lu sama Daffa. tiba-tiba soalnya, ada apa?" Nadanya halus, khas Evo sekali.

Walau menyebalkan, tapi Haru akui Evo itu sangat care pada teman-temannya.

"semalem Daffa secara ga langsung confess ke gua."

Terlihat sekali raut terkejut dari Evo. "iyaa, lanjut." Tapi tetap mencoba tenang, membiarkan Haru melanjutkan cerita lebih dulu.

Dari awal mula mereka bertemu, ketika hujan deras pada malam di hari Senin. Lalu Selasa Haru pingsan dan ditolong oleh Daffa, yang pasti Evo tahu itu. Esok harinya Daffa tak sengaja menumpahkan es.

Hingga sampai malam kemarin saat Haru membantu Daffa bersembunyi dari kejaran pelajar-pelajar sekolah lain.

"gua ga sadar. ternyata gua sepeduli itu sama dia." Haru mengakhiri ceritanya, rautnya pun ketara sekali jika ia tidak baik-baik saja.

"lu penasaran doang, Ru," ucap Evo.

"hah?"

"ya menurut gua mah lu di awal emang penasaran doang ama dia. tapi lihat lu sekarang, kayaknya udah lebih dari itu. jatuh cinta kali lu."

Memangnya jatuh cinta seperti ini? Seperti sulit mengungkapkan perasaan, membingungkan.

"kalo emang suka kejar. jangan kayak orang tolol. ntar diambil ama si anak bangunan tuh gua ga tau namanya." Evo terkekeh melihat ekspresi kesal dari sohibnya itu.

"lu sotoy banget ya masalah percintaan orang. sendirinya jomblo." Balasan Haru ini sukses membuat Evo mendengus sebal.

"tai lu."

Dering telepon dari saku Haru berbunyi. Ia berdiri guna mengangkat usai memberi kode pada Evo.

"kenapa?"

"..."

"bentar, gua kesana."


































🦋🦋🦋




























"Daf."

"apa lagi sih, Langgg?"

Gagal rencana mereka untuk menemui Joel, karena rupanya anak itu tidak berangkat. Pantas saja batang hidungnya sama sekali tidak terlihat hari ini.

Galang dan Daffa jadi berada di kantin, hanya berdua. Entah perasaan keduanya saja atau memang teman-teman mereka —anak ULTRAS lain tidak ada yang berangkat, kecuali Bian.

"lu lihat sw-nya Yasha?" tanya Galang.

Daffa yang saat itu tak memegang ponsel, langsung merogoh saku celananya. Membuka langsung aplikasi yang dimaksud oleh si teman.

Sukses membulatkan mata sempurna melihat isinya. "hah? mereka udah gila? kok ga bilang kita?" tanyanya kesal.

"eh..." Galang berdiri.

Memastikan pendengarannya betul. Begitu pun Daffa, merasa ini suara-suara yang sama dengan tadi sore, dan setiap dirinya jadi buronan.

Suara klakson yang tak henti-henti dan knalpot berisik.

"ah udah gila!" Galang berlari ke depan segera.

Daffa ikut mengekori di belakang. Tertinggal jauh oleh sohibnya itu, harus menerobos suasana panik isi sekolah yang makin ramai.

Pada belokan menuju ke koridor, jalannya dihadang. Oleh laki-laki yang nampak menjauhinya hari ini. Daffa mengerutkan kening kala dirinya ditarik begitu saja ke tempat sepi.

"gua udah bilang sama lu buat jangan bawa musuh-musuh lu itu ke area sekolah. ganggu."

Daffa mendelik, tak terima dituduh begitu saja. "gua ga bawa, mereka kesini sendiri," tolaknya.

"tapi temen-temen lu semua ada di depan? mereka ga berangkat kan?" sinis Haru.

Daffa menghela napas panjang. "mereka, bukan gua. gua ga tau apa-apa. kenapa asal nuduh?" Ia berbalik badan, hendak pergi tapi lagi-lagi tangannya ditahan.

"kalo bukan lu, diem di sini. jangan ikut keluar sampe polisi dateng," ucap Haru.

"apa-apaan??! yang di luar juga temen-temen gua! lu kenapa ngatur, sat?!" Daffa emosi, berusaha melepaskan cengkraman tangan Haru pada tangannya.

"ga capek dari kemarin luka terus? emang kaki lu udah sembuh?"

"kenapa peduli banget sama luka gua?! emang lu siapa? lepasin, sial! dipikir kaki gua ga bisa nendang lu apa gimana?!" dengus Daffa.

"cepet, tendang."

"huh..."

Daffa diam, merengut. Mana berani ia, Haru bukan orang yang pantas mendapat kekasaran darinya. Lagipula ia tak mau digunjing orang-orang karena melukai anak kepala sekolah.

"mau sampe kapan?" Lagi-lagi Daffa bertanya seperti semalam.

Ia angkat tangannya yang masih digenggam oleh yang lebih muda.

"sampe lu aman di sini dan gak ikut keluar," balas Haru.

"coba jawab, apa motivasi lu tahan-tahan gua begini?"

"gua ga mau lu kenapa-kenapa."

"peduli banget? katanya ga suka gua? lu suka sama gua?" Raut Daffa jelas mengejek.

"iya."

Tapi jawaban si wakil ketua MPK itu seketika mengubah rautnya menjadi terkejut.

"maksud lu apa sih?! lu seneng gua kayak orang tolol yang mikir perasaannya kebales? lepasin, woy! gua mau keluar!!" seru Daffa panik.

"tunggu polisi dateng."

"udah dateng!"

Daffa menyerah. Ia hanya tak ingin berlama-lama dengan Haru. Lebih baik jantungnya bermain saat ia dikejar-kejar banyak orang dan bertengkar. Daripada hanya berdua dengan lelaki itu.

Rasanya aneh.

highway • harubby (another story about school life)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang