Vione pikir kemalangan dan penderitaannya selama ini sudah cukup. Terlepas dari kebahagiaan yang didapat dari orang tua angkat dan orang-orang yang menyayanginya, tak sedikit kesedihan dirasakannya pula, biasanya berasal dari mereka yang kerap menjadikan kekurangannya sebagai bahan perundungan. Walau demikian sebisa mungkin ia tak bersedih. Lagi pula memang begitulah kehidupan. Kebahagiaan dan kesedihan selalu ditakdirkan sepaket, tak terpisahkan.
Perjalanan hidup yang tak mudah telah membentuk hati Vione. Ia tak lagi gampang terluka. Ia telah terbiasa. Pun ia lebih bijak untuk memfokuskan diri pada mereka yang mencintai ketimbang orang-orang yang menyakiti. Namun, ia lupa bahwa setiap hal pasti selalu ada pengecualian.
Pengecualian itu bernama Usher. Walau begitu Vione memiliki pembelaannya sendiri. Dulu, Usher termasuk dalam golongan orang-orang yang mencintainya. Usher hangat dan selalu ada untuknya. Lalu semua berubah setelah mereka berpasangan. Usher bukan lagi Usher yang ia kenal. Jadilah ia berpikir bahwa kebaikan Usher selama ini bukanlah berarti Usher mencintainya. Itu murni karena Usher memang baik dan agaknya sekarang Usher telah lelah bersikap baik kepadanya.
Akal sehat Vione telah menerima, tetapi hatinya tidak. Sebanyak apa alasan logis muncul di benaknya tetap tak mampu menahan rasa tak terima yang hatinya teriakkan. Lagi dan lagi, penyebabnya adalah ada masa di mana ia yakin bahwa sikap Usher padanya bukan sekadar kebaikan semata. Mana mungkin ada kebaikan diberikan dalam bentuk pelukan hangat, ciuman dalam, dan sentuhan menggairahkan?
Vione bisa merasakan bahwa Usher juga mencintainya. Di malam-malam sunyi ketika hanya ada mereka berdua, Usher memperlakukannya seperti ratu tercantik sejagad raya.
Namun, kenyataan kembali menampar dengan amat menyakitkan. Vione terhenyak oleh rasa sakit ketika disadarinya bahwa semua itu adalah omong kosong belaka. Persetan dengan semua cinta dan sentuhan yang Usher berikan. Pada akhirnya tetaplah ia yang menjadi pihak terbuang.
Vione mengerang. Rasa sakit yang tak pernah dirasakan sebelumnya menyerang. Jadilah ia terbungkuk dengan satu tangan yang bertahan di lutut sementara tangan lain meremas dada.
Jantungnya seperti tertimpa batu tak kasat mata. Hatinya tercabik-cabik. Paru-parunya terlukai. Sekujur tubuhnya menjerit dalam nyeri yang memeras tanpa kenal ampun.
"Pasti sangat menyakitkan bukan?"
Di sela-sela hantaman rasa sakit, Vione paksa dirinya untuk tetap sadar. Dilihatnya Usher menatapnya dengan seringai ejekan dan itu membuat kesakitannya berkali-kali lipat lebih menyakitkan.
"Apakah aku harus memanggil dokter? Lagi pula kau memang lemah dari dulu. Aku khawatir kau benar-benar akan meregang nyawa sekarang."
Vione mengatupkan mulut rapat-rapat. Ditahannya rasa sakit yang menghentak-hentak setiap sel di tubuh dan ia berusaha bangkit walau keringat sebesar butiran jagung membasahi wajahnya. Sebisa mungkin, dibalasnya perkataan Usher walau dengan suara bergetar.
"Aku tak butuh belas kasihanmu, Usher."
Usher mendengkus geli. "Baiklah. Lagi pula aku tak ingin mengasihimu dan selain itu, kuharap kau tahu apa yang harus kau lakukan sekarang juga."
Vione masih bergulat dengan rasa sakit. "Apa maksudmu?"
"Maksudku adalah kau bukan luna dan pasanganku lagi, Vione," jawab Usher dengan sorot yang amat merendahkan. "Jadi aku harus segera angkat kaki dari sini sekarang juga."
"Semalam ini?"
"Tentu saja."
Vione mengangguk. "Baiklah. Aku akan segera pergi dari sini, Usher. Terima kasih untuk semua yang telah kau berikan selama ini. Kuharap kau bisa bahagia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Moonlit Saga 🔞
WerewolfBuat yang belum dewasa, sangat tidak disarankan untuk membaca! **************** Luna tanpa cakar, begitulah orang-orang menyebutnya. Vione Celestie Munest sudah berada di titik tak lagi berharap pada takdir. Hidup tanpa asal-usul yang jelas dan tak...