Tsundere 3 [ gambaran]

18 0 0
                                    


Pagi itu, ah tidak lebih tepatnya pagi mejelang siang. Saya duduk dengan kesal sambil terus melihat kearah jam di tangan. Sungguh, kalau bukan karena ini acara penting menurut orang lain tapi tidak bagi saya.

Ini adalah acara biasa saja.

Ya, hanya sebuah acara pernikahan. Apa bagusnya membuat acara melelahkan itu? Ah maaf, maksud saya Acaranya bukan pernikahannya yang tidak penting. Yang benar saja, padahal tinggal ijab, abis itu sah. Tidak perlu berdiri bersalam dengan manusia yang hampir seperti 1 kota hadir.

Bukankah begitu konsep nikah sebenarnya? Kenapa harus ada acara megah-megah mengundang tamu banyak serta wartawan lagi. Menghamburkan uang dan waktu saja.

"Maaf Tuan, apakah pengantin wanitanya masih lama?" ucap penghulu di depanku.

Lamunanku buyar, benar juga. Kemana perginya rombongan penganting wanita itu, apakah tempat pernikahan pindang ke ujung bumi sehingga waktu 3 jam tidak cukup untuk datang kemari?

Merasa sama muaknya dengan penghulu-terlihat sekali dari wajah tuanya, aku bangun dari duduk dan menatap dua orang tua yang ternyata juga terlihat malu, kesal dan panik.

Tentu, anak mereka sudah menunggu-lama sekali dan duduk manis di kursi untuk segera mengucapkan ijab tapi si pengantinnya bahkan bisa dibilang besannya juga tidak ada yang muncul. Satupun tidak ada.

Sudah cukup, saya benar-benar marah dan jengah sekarang!

Ini cukup menggores ego saya sebagai seorang lelaki.

Harga diri saya merasa terinjak-injak.

"Kalian puas? Selanjutnya jangan mengatur saya lagi!" kataku pada mereka.

"Tuan bagaimana dengan pernikahannya?" tanya penghulu.

Baru saja saya akan melangkah pergi, perkataan penghulu itu membuat langkah saya berhenti. Saya menggeram dan menghela nafas dalam.

"Pernikahan akan tetap terjadi, berikan saya waktu satu jam lagi."

Saya menatap seorang wanita yang duduk di sebuah kursi barisan belakang. Saya senang wanita itu mau datang, itu artinya wanita itu memang sudah tidak marah dan benar-benar menganggap saya anaknya. Ya, selama ini saya memang selalu menganggapnya Mamah tapi itu semua terlihat seperti paksaan dari saya sendiri.

Saya yang memaksa untuk selalu berada di dekatnya.

Tapi sepertinya lambat laun dia mulai menerima saya juga, dia bahkan sempat terang-terangan marah mendengar saya akan dijodohkan-nikah paksa lebih tepatnya. Menurutnya, saya lebih baik mencari pendamping hidup saya sendiri.

Ya, dia adalah Mamah saya.

Memang bukan ibu kandung saya, tapi bagi saya kasih sayang serta pengertiannya pada saya melebihi ibu kandung saya. Hanya dengannya saja saya nyaman bercerita banyak hal, bukan saya tidak sayang kepada ibu kandung sendiri.

Hanya saja rasa itu tumbuh sendiri saat sosok ibu tiriku lebih mengerti saya dan mempunyai banyak waktu dengan saya. Kalian mungkin sulit mengerti ini, tapi bagaimanapun buruknya mereka, posisi mereka berdua sama berhagarganya bagiku.

Mamah terlihat tersenyum lalu mengangguk. Sepertinya dia mendukung apapun keputusan saya. Baguslah, saya akan mencari cara agar terhindar dari malu ini. Kalau saja tak banyak wartawan di luar sana, mana sudi saya melanjutkan acara ini.

Saat di lorong kamar hotel, pandangan saya berhenti pada seorang pelayan yang sedang membawa piring bekas tamu. Senyum saya tercipta sedikit, sepertinya dia orang yang tepat.

Tapi ada sedikit keraguaan saat saya melihat penampilannya.

"Ikut saya," kataku mencekal lengannya.

"Eh, masnya mau ngapain!" teriaknya.

Ah, ternyata dugaan saya tidak salah, dia cukup tepat untuk menjadi pengganti.

Dengan sedikit memaksa saya membawanya masuk ke salah satu kamar hotel. Dia tetap berusaha melepaskan tangan saya, tapi tetap tidak bisa memberontak.

Peralatan makan kotor yang dibawanya tadi, kami tinggalkan begitu saja di tengah-tengah jalan. Biarkanlah, nantipun ada pelayan lain, yang jelas saya harus mempercepat agar semuanya cepat selesai.

Menyelamatkan pernikahan yang merepotkan ini.

@@@

Saya membuka jas dan melipat kemeja hingga kesikut saya. Tak lupa saya juga mengacak-acak rambut saya hingga tak beraturan. Menjadi rapi dalam waktu lama benar-benar berat, rasanya tidak enak.

Baguslah tidak ada kesalahan satupun dan acara melelahkan itu selesai dengan lancar. Haruskah saya berucap terimakasih pada Tuhan untuk itu? Bahkan saya bisa terbebas dari para tamu dan wartawan yang kekepoannya tinggi itu.

Saat ini saya dan istri dadakan-seseorang yang baru saja saya kenal beberapa saat lalu, sedang berdiri di depan sebuah pintu kamar hotel. Helaan nafas keluar dari bibir saya saat melihat tingkah perempuan yang terlihat kebingungan itu.

"Anu, itu emm gue tidur dimana ya?" tanyanya.

"Kamu tidur di kamar saya," kata saya sambil mengeluarkan kartu-kunci kamar ini.

"Sekamar? Satu kasur gitu?"

Saya berdehem, mengiyakan jawabannya.

Dia terlihat syok dan mundur beberapa langkah, "Gila kali ya Om! Kitakan..." Serunya namun tertahan.

Saya menatapnya tajam membuatnya menutup mulut seketika. Tapi bukannya diam, dia malah melanjutkan ucapannya lagi.

"...Kitakan cuman pura-pura," katanya lagi pelan.

Gadis ini benar-benar cerewettt... batin saya cukup kesal.

"Jika kamu tidak mau, terserah mau tidur dimana. Di sofa maupun di lantai saya tidak peduli tapi kita tetap akan satu kamar."

Dia meringis.

Saya menghela nafas dan segera membuka pintu. Saat pintu sudah terbuka, tiba-tiba saja istri dadakan itu melangkah mendahului saya. Saya yang sedang tidak siap dengan tingkah ajaibnya itu menabrak tubuhnya, membuat kami berdua terhuyun dan...

Brakkk...

Kami terjatuh tepat tak jauh dari pintu, dengan posisi saya di atas dan dia di bawah. Jangan kalian kira ini semua seindah film romance, nyatanya tetap saja sakit. Sikut sebelah kiri saya sepertinya terluka dan sepertinya mengeluarkan darah karena terkena gesekan gaun pengantin, itu loh semacam kain panjang-sayap gaun yang ada di pundak.

Belum lagi sebelah tangan kanan juga ikut berpartisipasi menolong yang secara tidak sadar menangkap kepala istri dadakan dan menahannya agar tidak membentur lantai begitu saja. Tapi tak lama saya tarik tangan saya dari kepalanya itu.

"Anjirrrr... sakit Om, Om awas Om sakittt!" teriaknya membuat telinga berdengung.

Saya segera bangun dari posisi tadi dan menatapnya.

Dasar, dikira saya enggak apa?

"Berisik!" kata saya membuatnya bungkam.

Berisik!

⬆️⬆️⬆️⬆️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⬆️⬆️⬆️⬆️

Judulnya : YuuRi

🤗🤗🤗

PePaCaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang