Warning : Adult romance.
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas, karena mau tidak mau, dia harus belajar menjadi seorang hotelier, dan me...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Om."
Ebra melempar bola plastik dan Bas menangkapnya. Sejak tadi, keberadaan Bas menarik perhatian Ebra. Bocah kecil itu seperti menemukan sosok yang selama hampir sebulan hilang. Apalagi, Bas terlihat luwes. Ada hikmahnya juga punya keponakan empat biji, sehingga mudah baginya menghadapi Ebra. Keduanya sedang bermain sepak bola di halaman samping yang luas, dekat dengan paviliun.
Sementara Dinar, mengawasi dari teras samping.
"Ebraaaa." Suara Citra tiba-tiba menginterupsi. Muncul di ambang pintu. "Kasihan Om Bas, istirahat dulu, Nak."
Ebra menangkap bola yang menggelinding di atas rumput, lalu menggandeng Bas, berjalan ke teras, dengan tubuh bersimbah keringat.
"Ebra, sini." Citra melambaikan tangan dan Ebra menurut, tangan kirinya memeluk bola dan bergegas mendekati mamanya. "Din, Mas Bas diaturi istirahat di paviliun." (Dipersilahkan)
Dinar mengangguk, setelah itu Citra pamitan masuk. Tinggallah mereka berdua, dan tiba-tiba Dinar merasa canggung. Masih malu karena ketahuan menguping.
Bas berdehem, duduk di kursi seberang meja kecil.
"Orang tuaku datang lusa, Din."
"Pakai Monik?" Dinar bertanya basa-basi.
"Pastinya, landing Abdurrahman Saleh, dari sana langsung ke sini."
"Bertiga sama pengacara juga kan?"
"He em. Kamu gak ngapai-ngapain kan, sekarang?"
"Enggak. Kenapa?"
"Ayo lihat rumah."
Eh? Dinar tertegun. "Sekarang banget?"
"Memang maunya kapan? Besok kita ke bank. Karena Pak Thamrin sepertinya masih belum bisa bekerja, kita berdua saja yang ke bank dan menyelesaikan semuanya. Aku juga penasaran, kenapa Umar bisa meminjam uang sebanyak itu dengan agunan sertifikat Tjakra House. Apa sertifikatnya atas nama dia atau atas nama bersama."
"Aku gak tahu, Mas. Aku gak ngerti soal hutang-hutangan Bank."
"Kamu besok ikut, biar tahu."
Dinar tertegun, menatap Bas yang berdiri dan berjalan santai menuju mobilnya yang berada di halaman depan. Pria ini, sudah mulai menunjukkan dominasinya. Akan tetapi, kalau untuk kebaikan bersama ya tidak masalah. Toh, dia juga tidak begitu paham soal perbankan.
Buru-buru Dinar mengekor, dan masuk ke sisi samping kemudi yang pintunya sudah dibuka lebih dulu oleh Bas.
"Aku belum bilang Ibu, kalau orang tua Mas Bas, lusa datang."
"Aku sudah bilang." Bas menutup pintu dan memutari bagian depan mobil, lantas masuk ke sisi sopir.