Hai, aku datang dengan cerita baru.
Selamat membaca.
Tes ombak dulu.🍂🍂🍂
"Iya Mas, iya, ini baru landing. Lagi jalan keluar, sudah dijemput temanku di depan, tenang saja. Cewek kok, nanti aku pap —post a picture— deh, kalau gak percaya."
"Mas percaya, tapi ibu dari tadi tanya mulu."
"Iyaaaa, aku sudah telepon Ibu, sebelum ngabarin Mas. Sudah dulu yaaa, bye, Assalamualaikum."
Dinar buru-buru memutus percakapan, tanpa menunggu balasan salam dari kakaknya. Melambai pada seseorang yang sudah menunggunya di dekat pintu keluar kedatangan domestik bandara Soekarno Hatta.
"Dindin Markidiiiiiin." Perempuan yang mendapat lambaian tangannya, seketika berlari sambil merentangkan kedua tangan. Rambutnya yang dikuncir kuda, bergoyang ke kanan dan ke kiri, mengikuti irama langkahnya
"Alanaaaaaaaa." Dinar melepaskan begitu saja koper kecilnya dan ikut merentangkan kedua tangan, menyongsong sahabatnya di masa kuliah.
"Kangeeeeen."
Keduanya berpelukan erat lalu jingkrak-jingkrak meluapkan rindu. Tidak peduli tingkah mereka terlihat kekanakan dan menjadi perhatian beberapa orang di dekat pintu kedatangan.
"Berapa tahun sih, kita gak ketemu?" tanya Dinar.
"Dua tahunan laaah, setelah lulus. By the way, ni kita jadi perhatian orang-orang." Alana cengesan melihat sekitar.
"Bodoh amat, aku kangeeen." Dinar kembali memeluk Alana dengan erat. Sahabat satu kampus, dan juga satu kosan saat masih kuliah di Kota Malang.
"Hegm." Andai tidak ada deheman dari seseorang sambil menyorongkan koper kecilnya, mungkin mereka masih berpelukan seperti Poo dan Lala.
Alana dan Dinar menoleh. Keduanya tertegun, menatap seseorang yang tinggi menjulang di dekat mereka. Dinar bahkan bisa mencium aroma parfum maskulin yang lembut, dan menenangkan. Keduanya bertatapan, karena pria itu dengan khusus menyorongkan koper kecil padanya.
"Astaga." Buru-buru Dinar melepas pelukannya pada Alana. "Maaf Om." Dia segera meraih kopernya dan mengangguk sopan, yang langsung mendapat cubitan kecil di lengannya dari Alana.
"Kamu kira ini di Korea? Yang minta maafnya pake nunduk-nunduk?"
"Lah iya juga ya." Keduanya bisik-bisik tanpa perduli mendapat kernyitan dari pria di depan mereka.
"Lain kali hati-hati."
Ya Tuhan.
Dinar dan Alana ingin menjerit rasanya. Suara pria di depan mereka sangat dalam, ngebas dan seksi.
"Iya Om." Lagi-lagi hanya sebutan itu yang cocok di sematkan Dinar, karena kalau memanggil Pak, takut yang bersangkutan tersinggung karena dianggap terlalu tua. Sementara kalau memanggil Mas, takutnya dikira sok akrab. Mending dipanggil Om saja, aman. Toh, sepertinya pria ini juga sudah berumur.
"Saya, bukan, Om kamu."
Dinar meringis. Pria di depannya menatap tajam. Hampir kembali bersuara tapi urung, ketika matanya melihat seseorang melambaikan tangan tak jauh dari posisinya saat ini.
Tanpa bersuara, dia meninggalkan Dinar dan Alana yang masih mengikuti kepergiannya dengan mulut menganga.
"Sumpah, cakep banget," gumam Alana yang disetujui Dinar dengan anggukan.
"Sayang, brewokan. Meski tipis-tipis dan kelihatan guwanteng banget, tapi bukan seleraku."
Dinar sedikit memicingkan mata, karena seperti melihat seseorang yang dia kenal diantara kerumunan orang-orang yang melewati pintu keluar. Namun, orang itu berjalan menjauh dan hilang dari pandangan mata. Tertutup keramaian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Housemate
Roman d'amourWarning : Adult romance. Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas, karena mau tidak mau, dia harus belajar menjadi seorang hotelier, dan me...