38. Aku tidak ingin kita bercerai

37K 3.4K 362
                                    

Rupanya firasat Aji benar, Dinar lah yang diincar Umar Tjakra, bukan dirinya. Saat menerima pesan dari Nando, Bas sangat terkejut. Meski foto itu dari belakang dan dari jauh, dia sudah bisa menebak siapa pria yang sedang bersama istrinya. Tanpa pikir panjang Bas langsung pulang. Tempat pertama yang dia lihat adalah cafe. Namun, istrinya sudah tak ada. Dengan cepat dia berlari menuju lift, dan membiarkan mobilnya berada di area parkir tamu. 

Saat masuk ke dalam rumah, dilihatnya Dinar berdiri dekat island table dengan linglung. 

"Din."

Istri kecilnya menoleh dengan mata sembab. Tangannya bahkan terlihat masih gemetar. Tanpa pikir panjang, Bas berlari mendekat, melempar kunci mobil ke atas island table. Lalu mencengkeram Dinar dan memeluknya dengan erat. 

"It's okay, it's okay," bisiknya lembut. "Aku sudah di rumah."

Tangis Dinar meledak, memeluk erat suaminya karena merasa lelah. Tenaganya terasa habis. 

***

Setelah merasa tenang, Dinar menceritakan apa yang sudah terjadi pada suaminya. Tak ada yang ditutupi. Dia merasa perlu berkata jujur, karena sepertinya percuma menutupi segala sesuatu dari Bas. Pria ini pasti punya banyak cara untuk membuatnya bicara. Dia juga tidak bisa menebak apa yang akan dilakukan pamannya setelah ini, jadi lebih baik berkata jujur daripada menjadi bumerang suatu hari nanti. 

"Aku harap, Mas Bas tidak tersinggung ataupun marah dengan apa yang sudah kukatakan pada Om Umar. Hanya itu yang terlintas, supaya dia punya rasa takut padamu dan tidak memelas untuk menarik simpatiku. Bagaimanapun juga, Om Umar memiliki kemiripan fisik dengan almarhum Ayah. Kemunculannya yang tiba-tiba membuatku goyah. Alih-alih murka, aku justru prihatin melihat keadaannya. Dia kerja pada siapa? Apakah benar-benar aman? Apa dia sehat? Aku sendiri tak paham dengan perasaanku sendiri. Padahal aku marah dengan perbuatannya, tapi perasaanku lemah saat melihatnya."

Dinar mencoba tidak ingin menangis lagi, tapi air matanya tetap saja meleleh. 

"Cengeng dan lemah sekali, aku." Tangannya menghapus lelehan air mata itu dengan tisu.

Bas menghela napas besar. Mengusap-usap kepala istrinya dengan lembut. Tangannya mengambil mug di meja dan memberikannya pada sang istri. Dinar meneguk lagi air itu, membasahi kerongkongannya setelah cerita panjang lebar.

"Darah memang lebih kental daripada air Din. Yang kamu rasakan adalah perasaan yang manusiawi, karena dalam diri kalian mengalir darah yang sama. Meski jujur, aku tidak menyukainya, tapi ada satu hal yang aku syukuri dari perbuatannya."

"Hmm. Apa? Memangnya ada yang bisa disyukuri? Uangmu saja sudah keluar banyak gara-gara masalah keluargaku, Mas." Dinar menyerahkan mug itu dan Bas meletakkannya kembali di atas meja.

"Kalau fokusnya pada masalah, yang dilihat memang hanya keburukan. Tapi, kalau bisa melihat dari sisi yang lain, ada banyak hal yang bisa diambil. Pernikahan kita contohnya."

Dinar tertegun. 

"Pertemuan kita dan pernikahan kita, berawal dari masalah ini kan? Jika tidak ada masalah yang dibuat pamanmu, mungkin hubungan kita tak lebih dari hubungan adik kakak, tanpa ada ikatan apapun."

Bas menghela napas besar. 

"Aku paham situasinya, jadi aku tidak akan tersinggung dengan apa yang sudah kamu ucapkan tentangku pada pamanmu." Tangannya mengusap-usap pipi Dinar dengan lembut. Tatapan matanya meneduhkan, membuat perasaan Dinar yang kacau balau perlahan membaik.

"Sebenarnya, kita sedang saling melindungi satu sama lain, hanya dengan cara yang berbeda. Aku mencari pamanmu, karena ingin membuat kesepakatan agar dia tidak pernah muncul lagi mengganggumu dan keluargamu. Namun, rupanya tidak semudah itu. Kukira, dengan meminta Pak Thamrin membocorkan jati diriku ketika dia datang ke sana, Pamanmu akan mencariku. Ternyata yang dia cari justru kamu."

Housemate Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang