Dua Puluh Dua

77K 6.5K 587
                                        

Bertahun-tahun menjadi kepala ajudan untuk Harun Dierja Aminoto, membuat Rafael Wiryawan mengenal betul kebiasaan sang atasan. Segala sikap dan sifat yang tak pernah ditunjukkan ke publik oleh orang nomor satu di partai, tentunya akan diperlihatkan padanya dalam tindakan sehari-hari.

Secara umum, atasannya itu adalah orang yang kaku.

Namun, demi kepentingan partai, sang atasan mencoba membaur dengan ketidaknyamanan yang menaungi.

Sebelum menjabat sebagai ajudan ketua umum, Rafael sudah terlebih dahulu bekerja bersama sang atasan sewaktu beliau masih sibuk menggeluti bisnis. Bersama dengan Putra Fernandi, mereka pun turut hijrah saat atasan mereka memutuskan mengambil alih tugas sebagai ketua umum partai yang didirikan orangtuanya.

Secara teknis, pekerjaan di bidang politik teramat melelahkan. Tak ada yang bisa dipercayai. Semua orang yang awalnya merupakan rekan, bisa menjadi lawan. Beberapa kali, dalam setahun terakhir, Rafael harus membereskan penyusup-penyusup yang dikirimkan lawan maupun kawan politik. Tingkat bahaya yang ia kerjakan pun beragam. Dunia politik begitu licik. Pantang terlena sedikit, maka musuh akan menyerang. Karena itu, Rafael selalu berusaha bersikap waspada.

Seperti sekarang ini.

Ia telah menanti atasannya selama setengah jam lebih.

Namun, tanda-tanda sang atasan akan keluar dari kamar bernomor 1709 sama sekali tak terlihat. Rafael tak mungkin mengetuk pintunya. Jadi, cara terakhir yang ia lakukan adalah mencoba menghubungi atasannya itu.

Ponsel sang atasan tak memiliki nada dering. Pria tersebut lebih suka menggunakan mode getar bila ada panggilan ataupun pesan yang masuk. Dan berhubung biasanya ponsel tersebut selalu berada berada di saku pakaian, maka tak pernah ada panggilan terlewat bila beliau tidak sedang sibuk.

Maka, Rafael pun mencoba menghubunginya.

Satu kali panggilan itu tak terangkat.

Dan Rafael mencoba untuk kedua kali.

Tetapi ternyata, sama saja.

Panggilannya berakhir tanpa terjawab.

Mengerti betul bahwa sudah seharusnya ia berhenti menghubungi, Rafael kemudian mengirimkan pesan singkat. Setelah ini, ia akan menunggu di lobi.

Beberapa langkah menjauhi pintu yang di dalamnya terisi oleh atasannya, ponsel Rafael pun berdering. Sempat mengira bahwa itu adalah panggilan balasan dari sang atasan. Rafael hanya mendesah, ketika yang menghubunginya merupakan rekan kerjanya. "Ya?"

"Berapa lama lagi Bapak akan sampai ke sini?"

Suara mendesak dari Putra Fernandi, mengindikasikan bahwa para kader di sana sudah sudah menunggu-nunggu kehadiran atasannya. "Bapak sedang memiliki urusan lain," jawab Rafael sambil menoleh sebentar pada daun pintu yang masih tertutup rapat. "Sepertinya, Bapak nggak akan kembali ke sana."

"Kenapa? Terjadi sesuatu?" tanya Putra beruntun. "Para kader sudah menunggu Bapak. Dan sepertinya—"

"Putra," Rafael memotong ucapan sang rekan seraya berjalan menuju lift.

"Ya?"

"Bapak sedang bersama istrinya," jelas Rafael menekan tombol untuk turun ke bawah.

"Apa?"

"Bapak sedang bersama istrinya," ia mengulang kalimatnya sekali lagi.

Ada jeda yang terjadi bebera detik, sebelum kemudian suara Putra terdengar kembali.

"Oke. Saya mengerti."

Nah, satu masalah teratasi.

"Saya akan meminta wakil ketua umum untuk menyampaikan sambutan malam ini."

Nyala RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang