Hampir jam empat sore, ketika Harun mendarat di Malang.
Asistennya bilang, keluarganya sampai di sini sejak pagi tadi. Sebab resepsi acara pernikahannya memang dimulai pada pukul enam petang. Harun tidak memiliki alasan untuk bersiap lebih lama, makanya ia santai-santai saja saat tiba di jam-jam seperti ini.
Ngomong-ngomong, Harun akan berada satu hotel dengan keluarganya. Di lantai yang sama dan dengan nomor kamar yang saling berdekatan. Resepsi pernikahan itu pun digelar di ballroom hotel yang Harun tempati, jadi ia benar-benar tak harus buru-buru. Tetapi sepertinya, ibunya memiliki pandangan lain.
Sebab begitu sampai di hotel, ia disambut oleh ibunya di lobi dengan ketenangan luar biasa seorang Dewi Gayatri. "Padahal, kita bisa datang bareng tadi pagi, Mas," ia mengamit lengan anaknya menuju lift.
"Masih ada kerjaan yang harus kuurus, Ma," Harun membela diri. "Lagipula, kita bukan keluarga pak menteri, nggak ada alasan untuk berada di sini sepagian 'kan?"
"Kita sudah dianggap bersaudara, Mas," ibu Dewi meralat ucapan anaknya. "Perjalanan kami di masa lalu untuk membangun Nusantara Jaya, nggak akan terlupa. Yang tulus, pasti akan mengingatnya sampai akhir hayat. Tapi bagi yang khianat, kenangan itu hanya akan menjadi cerita lama."
Harun diam tak memberi tanggapan.
Bukan karena ia tak senang, tetapi lebih kepada menyayangi dirinya sendiri sebab tak mungkin menang dalam perang argumentasi dengan ibunya. "Mama kenapa belum dandan?" ia mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Nunggu Mas Harun dulu. Ada yang mau Mama bicarakan."
Baik.
Harun sedang ada dalam bahaya.
Ibunya sedang berada dalam mode tutor yang seolah-olah tahu segala langkah terbaik dalam menyelesaikan masalah.
"Bisa kita bicara setelah acara, Ma?" Harun mencoba menawar. "Rafael memiliki sesuatu yang penting untuk dilaporkan. Sepertinya sangat mendesak. Karena ponsel Rafael nggak berhenti berdering semenjak kembali diaktifkan."
Harun tak mengada-ada.
Hal itu benar adanya.
Sejak meninggalkan bandara, ponsel sang ajudan terus berisik. Pasti, ada yang sedang terjadi. Dan untuk itulah, Rafael beserta Putra masih berada di lobi untuk memeriksa permasalahan yang terjadi.
"Oke, kalau gitu sekarang aja," sahut ibu Dewi sembari mengerling menatap putranya. Kamar mereka berada di lantai 18. Rasanya tak masalah berbincang dalam perjalanan begini. Tak ada orang lain di lift ini. Hanya ada dirinya, sang putra dan pengawal wanita yang biasa berpergian bersama dirinya. "Mama sama papa diundang buat makan siang bareng sama keluarganya Ginta tadi," Dewi Gayatri memulai. "Ginta juga ada di sana."
Harun ingin sekali memalingkan wajah. Hanya saja, pintu lift yang berada di hadapannya memantulkan segala geraknya. Membuat Harun harus ekstra menjaga sikap. Sebab, ibunya terlalu mahir membaca gerak-gerik anak-anaknya dengan sangat baik.
"Ginta merasa serius dengan kamu. Dan orangtuanya juga menyambut keputusan Ginta dengan sangat baik."
Sudah.
Harun sudah mengerti maksud semua.
Jadi, ia pun paham untuk memberi jawaban apa pada sirat penuh tanya dalam ekspresi sang ibu. "Untuk sekarang, aku nggak bisa, Ma."
Dan kerlingan tajam, segera dilayangkan oleh istri mantan ketua umum Nusantara Jaya. "Berhenti main-main, Mas."
Harun tertawa tanpa sadar. "Aku bahkan udah lupa, gimana rasanya main-main, Ma," ungkapnya diiringi tawa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nyala Rahasia
RomansaSebagai putra sulung, Harun diberi warisan politik yang membingungkan. Alih-alih bahagia, ia justru menderita sakit kepala tiada habisnya. Partai yang didirikan orangtuanya, menyisakan kader-kader kacau yang minta dibina. Hingga geliat saling sikut...