Tiga Puluh

71.9K 5.3K 414
                                    

Padahal, banyak pekerjaan yang menantinya esok hari.

Jadwal yang padat sudah menunggu dieksekusi.

Istirahat seharusnya menjadi pilihan terbaik, ketika jiwa dan raga didera letih. Tidur merupakan obat yang mampu mengembalikan energi yang hilang saat dunia terasa diliputi emosi.

Tetapi, Harun dan Nyala malah sibuk berebut udara. Lewat ciuman yang menghanyutkan raga. Melalui sentuhan yang membuai dahaga. Keduanya justru memutuskan berbagi peluh di malam yang penuh tekanan.

Saat pakaian masing-masing telah terlucuti, mereka bebas menyentuh satu sama lain dengan berani. Membelai kulit hangat yang kini terasa lembab oleh keringat. Nyatanya, keduanya seolah tak ingat bahwa besok, bisa saja semesta semakin kejam memainkan peran.

Dalang kebakaran belum teratasi.

Kini, ada Dewi Gayatri yang akan terus merecoki.

Seharusnya, pemahaman itu mampu membuat Harun menjadi tahu diri.

Seharusnya, kenyataan tersebut bisa membuatnya lebih mawas diri.

Namun sayangnya, Harun menyerah pada kebutuhan hasrat yang menari-nari. Sentuhan Nyala bagai candu yang enggan membuatnya menjauh. Jadi, sofa yang tadi sempat terlintas dalam angan, kini menjadi saksi baru. Bagaimana Nyala bergerak di atasnya tanpa ragu. Kulit wanita itu berkilau di bawah cahaya lampu. Dengan peluh yang membuat rambutnya basah, Harun membantu Nyala bergerak padu.

Payudara yang kabarnya mengalami sensitivitas akibat kelenjar asi yang mulai diproduksi, kini berada dalam remasannya. Ujung payudara itu menegang kaku, Harun mempermainnya dengan lidah basah berikut bibir yang mengecup enggan menjauh. Tubuhnya dialiri gelora yang membara. Ubun-ubunnya mendidih, tak kuasa bertahan menuju puncak tertinggi.

"Pak," Nyala berpegangan pada pundak bidang yang licin. Tubuhnya berlonjak ke atas karena dorongan yang diberikan pria itu di bawah tubuh. Rintihnya mengalun tak kuat. Desahnya terlanjur mengerang nikmat. Selebihnya, Nyala mencoba menggigit bibirnya. Namun ternyata, erangannya masih bisa lolos begitu saja.

Kepalanya terkulai tak berdaya.

Napasnya menderu-deru.

Kini, yang ia lakukan adalah berpegangan dengan cara memeluk leher laki-laki itu. Ia biarkan seorang Harun Dierja memegangi pinggangnya. Membantu bergerak demi menuntaskan dahaga yang sudah terlanjur tercipta.

"Capek?" Harun memeluk punggung Nyala. Kini, sepenuhnya ia yang bergerak di bawah. Tangannya meraba kulit dingin yang tertimpa pendingin. Membelai lihai, meremas gemas. Itulah yang dilakukan kedua telapak tangannya sedari tadi. Tubuh tanpa busana mereka melekat kuat. Harun telah mengecupi sebelum ia berhasil memasuki Nyala, inci per inci. Lalu tak lama berselang, ia merasakan Nyala menegang dalam pelukannya. Ia mencoba meredam geraknya, membiarkan wanita itu menikmati waktunya.

Satu kali, Nyala mendesah.

Dua kali, Nyala mengerang di bawah telinga.

Dan ketika gemetar itu mereda, Harun memacunya perlahan.

Pelan-pelan.

Mengawalinya dengan penuh kelembutan. Memanjakan Nyala lewat kecupan yang ia berikan di antara tulang selangkanya yang menggoda. Membangun kembali gairah yang wanita itu yang mereda. Harun merayunya, lewat sapuan lembut di sekujur tubuhnya.

Namun hal itu tak berlangsung lama, Harun membantu Nyala agar mereka mengubah posisi.

Kini, Nyala dibaringkan di atas sofa dengan sebelah kaki menjejak lantai sementara yang lain berada di pundaknya. Dengan hati-hati, ia kembali menyatukan diri. Desah Nyala mengiringi peraduan yang sempat terjeda. Rintih yang wanita itu cipta, bak semangat yang memacu Harun agar semakin bergelora. Diiringi erang yang saling bersahutan, Harun memusatkan diri pada puncak yang sedang ia telusuri.

Nyala RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang