Dua Belas

54K 5K 243
                                    

Hai sorry baru up di sini. Udah musim penghujan yaa, flu kyknya gampang melanda siapa aja hehhehe

Oke deh, Happy reading ...

Secara professional, Harun menjual keramahannya demi kepentingan politik. Ia terlampau sering berjabat tangan sambil mengumbar senyuman. Tertawa sambil berbasa-basi seolah ia menikmati. Saling bertanya kabar, seakan benar-benar peduli.

Kenyataannya, Harun bahkan membenci basa-basi politik itu. Terlampau jengah mengejar kepentingan publik, ia juga butuh waktu untuk dirinya sendiri.

Dan di minggu pagi ini, bersama dengan Menteri Pemuda Dan Olahraga, Respavi Mahendra, beberapa bola golf telah tergelincir memasuki hole.

"Peluang Effendy sama Irawan ya, fifty-fifty," Respavi Mahendra berbincang santai. "Presiden lebih condong ke Irawan. Tapi koalisi, bakal memperjuangkan Effendy," sambil memilih stick yang akan ia gunakan untuk memukul bola di area bunker, ia kemukakan asumsi. "Pak Kusno nggak bakal punya kesempatan. Kecuali, kalau lo sendiri yang mendeklarasikan bakal milih dia."

"Kebetulan, gue lagi nggak punya kesempatan buat kalah telak. Partai gue butuh gue panjat politik sampai benar-benar jadi Wapres," dengkus Harun sambil bersiap memukul. Sinar matahari yang mulai meninggi, membuat topi yang ia kenakan seperti tak memiliki fungsi. Polo t-shirtnya pun telah basah oleh keringat. Namun, mereka tak bisa berhenti sampai hole terakhir. "Kalau lo masih mau jadi menteri, lo harus senyum sapa ramah sama Sekjen gue."

Respavi tergelak.

Ia menyerahkan stick golfnya pada caddy yang mengikuti mereka. Meminta air mineral, ia berjalan terlebih dahulu ke arah bugi golfnya. "Gue sebenarnya kepo sih, kenapa Sanusi Wijaya nggak ikut diangkut bareng Rangkuti waktu itu? Apa polisi yang terlalu goblok, atau dia yang terlalu licik?"

"Dia yang terlalu licik," jawab Harun malas. Kemudian, ia pun menghela. Mengikuti apa yang dilakukan Respavi, Harun pun menyerahkan stick golfnya pada caddy. Name tag yang terpasang di pakaian salah satu caddy itu membuat Harun mendengkus tanpa sadar. "Ngomong-ngomong, gue punya masalah," ia jarang bercerita dengan orang-orang. Namun, Menpora di depannya ini merupakan kawan lama sejak kuliah. Walau bergelar kakak tingkat, ia dan Respavi cukup dekat.

"Semenjak ngurusin partai, hidup lo 'kan penuh masalah," ledek Respavi yang berusia dua tahun di atas Harun. Bila usia Harun saat ini adalah 37 tahun, maka Respavi sudah berusia 39 tahun. Tapi tenang saja, ia telah menikah dan memiliki dua orang anak yang salah satu anaknya, sudah menginjak bangku kelas dua sekolah dasar. "Cuma, tumben aja sih, lo ngeluhin nih masalah sama gue."

Harun hanya mengangkat bahu.

Kemudian, pandangannya menyapu rerumputan hijau yang menjadi primadona para penggila golf. Sejujurnya, golf bukanlah hobinya. Ia hanya sekadar suka. Namun sejak kecil, ia sudah diajak ayahnya mencicipi olahraga mahal ini. Jadi, mau tak mau, ia pun terbiasa.

"Well, secara teknis, gue bakal jadi bapak," ungkap Harun jujur. Setelah selama ini hanya Aspri dan ajudannya saja yang mengetahui fakta tersebut, Harun sendiri yang memilih bercerita dengan temannya itu.

"Wow!" Respavi bereaksi tak percaya. "Gue nggak salah denger nih?" ia tak bermaksud meledek. Tetapi yang kemudian keluar dari bibirnya hanyalah tawa. "Jadi bener, Kanika cerai gara-gara lo?"

"Ck," Harun berdecak. Ia membuka topinya, kemudian menyugar rambutnya yang basah melalui sela-sela jemarinya. "Staf gue di DPP," matanya melirik pada dua orang caddy yang tengah membereskan stick-stick miliknya dan Respavi. "Imbas sabotase Rakernas kemarin, sekarang kehamilannya udah lima minggu."

Nyala RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang