Empat Puluh Satu

31.4K 3.5K 230
                                    

Aku lagi sial bgt hari ini iihh ...
Dua kali ke klinik dokter gigi, dokternya lagi praktek di rs.
Endingnya ke rs, dkt rumah. Eh, dokternya seminar wkwkwkk

Nasiib bgt yaaa

Ya udah deh, mumpung ingeett Pak Harun blm di up di sini, aku post deh buat kaliaan

Happy reading ...

Dalam secangkir gerimis, pasti ada setetes rasa manis yang mampu membuat nuansanya terasa magis. Memburu dalam ombak yang keliru. Lalu luruh, ketika kaki-kaki itu menjauh. Romansa itu milik mereka ingin berjuang meneguk cinta. Tak masalah bila diterpa prahara. Katanya, asal kau dan aku bahagia. Nyatanya, cinta merupakan kata tersesat dibelantika kosakata yang tak seorang pun mampu memaknainya.

Sementara bagi para politisi, tidak ada kawan yang 'kan dekat selamanya. Berikut dengan tak mungkin ada lawan yang bermusuhan untuk waktu lama. Segala yang menguntungkan akan dipertimbangkan. Dan semua yang merugikan pasti ditendang.

Harun tiba terlebih dahulu di pelataran parkir rumah Kusno Aji. Pagar pembatas yang tinggi, membuat siapa pun yang berada di balik pagar, tak akan mengetahui siapa saja tamu sang mantan Jenderal. Ibarat benteng pertahanan, rumah pribadi sang kandidat Presiden merupakan tempat bersembunyi paling aman. Walau nyatanya, tak seorang pun bisa memastikan, setiap tawanan dapat hidup atau justru bersiap menjemput kematian.

Tak segera turun, Harun mengecek arloji yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Well, bagi politisi, tak ada yang namanya jam malam. Setiap waktu temu yang sudah disepakati, mereka wajib menghadiri. Tak peduli itu bila pun terjadi dini hari.

"Pak Sanusi sudah datang, Pak," Rafael menginfokan. Ia duduk di sebelah supir sambil menekan ear piece di telinga. "Bapak mau langsung bertemu di luar atau masih ada yang ingin Bapak bicarakan dengan Pak Sanusi secara pribadi?"

Harun mengembuskan napas. "Kita langsung keluar saja," putusnya setelah berpikir tak ada guna lagi berbicara dengan Sanusi ketika mereka sendiri tahu apa yang akan diinginkan oleh Kusno Aji.

"Baik, Pak," Rafael turun terlebih dahulu. Ia membukakan pintu pada atasannya. Dan di saat yang sama, mobil yang berada di belakang mereka pun memperlihatkan sosok Sanusi Wijaya. "Pak Sanusi juga sudah turun, Pak," lapornya memberitahu.

Harun mengangguk. Ia rapikan kemeja hitam berlengan pendeknya sebelum melangkah keluar dari mobil. Diikuti sang asisten, Harun berjalan menghampiri Sanusi Wijaya yang juga datang dengan ditemani oleh asisten pribadinya juga.

Tak ada kata yang keluar dari bibir mereka. Keduanya hanya berpandangan sejenak, sebelum memutuskan mulai menapaki teras hunian milik sang mantan Jenderal. Tak ada senyum yang tercetak di wajah, semuanya memperlihatkan aura dingin yang mengancam.

"Selamat datang," sambutan datang dengan ramah oleh si tuan rumah. Kusno Aji tampak bersemangat menyambut tamu-tamunya. "Akhirnya, Pak Sanusi mau juga berkunjung ke gubuk saya ini," seringainya penuh makna. "Pak Harun, apa kabarnya? Sekali lagi, selamat ulang tahun, ya, Pak? Sudah diterima 'kan karangan bunga dan hadiah dari saya?"

Tadi, Rafael memang sempat memberitahu bahwa ada hadia dari Kusno Aji. Namun, Harun belum membukanya. Hadiah-hadiah yang ia terima masih mengendap di kantor Nusantara Jaya.

"Bisa kita hentikan basa-basi ini?"

Jelas bukan Harun.

Sanusi Wijaya adalah lawan setimpal untuk Kusno Aji.

"Kamu memang selalu nggak sabar, ya, San?" Kusno Aji tertawa penuh cemooh. "Tapi, baiklah, ayo kita mulai bermusyawarah demi mencapai mufakat," ia mengerling pada para ajudannya untuk mengiringi mereka. "Kita ke paviliun saja," ia tidak menawarkan tempat. Melainkan sudah memilihnya.

Nyala RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang