Empat Puluh Dua

51.8K 4.9K 399
                                    

Semesta tak pernah mencipta kebetulan. Segala yang terjadi, jelas telah diperhitungkan. Sebagaimana terciptanya rasa di dunia. Rupanya, cinta masuk ke dalamnya. Walau tak semua romansa berakhir dengan pelaminan di hari pernikahan. Paling tidak, mencintainya pernah menjadi semoga dalam khayal terindah. Meski akhirnya berdarah-darah.

Tragis.

Benar, banyak romansa yang tidak berakhir manis.

Nyala menyudahi mimpinya ketika kandung kemihnya terasa penuh. Walau kantuknya benar-benar melekat, ia mencoba menggeliat bangun. Ruangan yang temaram memberi netranya kenyamanan. Seolah memintanya agar kembali dalam buai bawah sadar. Tetapi, ia butuh menyalurkan air seninya. Mau tak mau, ia harus bangun dari ranjang empuk ini.

Namun, lilitan tangan di pinggang, buatnya menegang. Ia mencoba mengerjap demi memastikan ia tidak salah dalam mencerna situasi. Secara refleks, tangannya menyentuh lengan tersebut. Dan ketika kesadaran menghantamnya utuh, ia pun mengembuskan napas seolah merasa lega. Diam-diam, bibirnya melengkungkan senyuman. Pelan-pelan, ia ajak netranya tuk memandangi lingkaran lengan itu dengan senyum tertahan. Cakrawalanya kemudian bergerak ke atas. Menatap jam digital yang menyala saat gelap.

Nol satu tiga puluh, tertera di sana.

Setengah dua, batinnya bersuara.

"Kenapa?"

Suara serak di balik tengkuk, buat Nyala meremang. Ingin sekali berbalik demi melihat sang pemilik, tetapi ia bimbang.

"Saya ganggu?"

Kepala Nyala menggeleng. Ia elus lengan yang melingkari pinggangnya dengan kesadaran penuh. "Saya mau pipis, Pak," ungkapnya jujur. Tetapi jemarinya, justru terulur membuai punggung tangan kekar tersebut, perlahan-lahan. Seolah tak ingin melepaskan. Seakan membenarkan bahwa di sinilah tempat lengan itu berada. "Jam berapa Bapak pulang?"

"Sekitar satu jam yang lalu," suara Harun terdengar berat. "Dan saya baru saja berusaha tidur," lanjutnya mengutarakan kejujuran. Ia baru selesai bersih-bersih setelah memeriksa sedikit laporan. "Tidur saja," perintahnya pada Nyala sambil mengeratkan pelukan.

Nyala ingin terbang.

Tetapi ia ingat pada air seninya yang tak lagi tertahan.

"Saya mau pipis dulu, Pak," cicitnya kemudian. "Nggak lucu 'kan, kalau saya ngompol di sini?"

Harun mendengkus samar, dan kemudian ia melepaskan pinggang Nyala dari rengkuhan lengan. Ia mengganti posisi tidur menjadi telentang. Menatap plafon dengan helaan napas yang terdengar kasar. Kemudian matanya tertutup, namun telinganya mendengar dengan begitu awas langkah-langkah Nyala yang menuju ke kamar mandi.

Nyala Sabitah.

Ia terus mengulang nama itu dalam benak.

Bila ia tak menumpulkan logika, mungkin yang ia lakukan sekarang adalah menjauhi wanita itu alih-alih memeluknya. Andai ia tak punya nurani, sudah ia buang wanita tersebut seperti yang diinginkan Sanusi. Tetapi faktanya, Harun justru merengkuhnya. Membaui aroma sampo di rambut Nyala yang panjang. Menyusuri kelembutan kulit wanita itu yang terasa halus dan dingin di saat yang bersamaan.

Ya, Tuhan, Nyala Sabitah ....

Sumpah, Harun merasa pusing dengan dengungan bising di kepala.

Terlampau banyak masalah hingga ia merasa membutuhkan satu hari yang tenang tanpa suara.

Dan satu-satunya tempat di mana ia dapat menjinakkan kegusaran dalam dada adalah di tempat ini. Lebih tepatnya, bersama wanita ini ...

Hingga kemudian, langkah-langkah itu terdengar kembali. Dan Harun tetap pada posisinya. Namun netranya berusaha menangkap gerak wanita itu. Meski temaram mendominasi ruang, entah kenapa Harun merasa dapat dengan mudah melihat gerak-gerik Nyala yang telah menaiki ranjang.

Nyala RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang