Dua Puluh Tujuh

42.7K 4.5K 266
                                    

Inii aku gak tau yaa salahnya di mana wkwkwkk
Ternyata part 26 sama yaa kayak part 25 kemaren huhuhu sorry yaaa aku gk fokus sepertinyaaa

Yaudah, ini lanjutannya yaaaa
Maaf bikin bingung hihihii

Happy reading ....

Harun tidak tahu bagaimana harus memulai hari dengan matahari yang telah terlanjur menggantung tinggi. Apalagi dengan orang baru di apartemennya, Harun terkejut ia bisa terbangun di jam sebelas siang. Mungkin karena semalaman ia terjaga terus-terusan dan baru saja terlelap setelah fajar menyingsing. Atau bisa saja, akibat terlalu lelah hingga lelapnya enggan terjaga cepat-cepat. Yang jelas, Harun cukup panik begitu waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang.

Meraih ponselnya yang berada di nakas, Harun mengecek noifikasi-notifikasi yang mungkin saja terlewat. Dan yang ia hubungi pertama kali adalah asistennya.

"Ya, Pak?"

"Saya terlambat," ungkapnya sambil menyusun bantal lebih tinggi untuk menyanggah kepala. "Kalian di mana?"

"Saat ini, Bapak masih terhitung berada di Malang. Jadi, agenda Bapak hari ini akan dilaksanakan Bapak Rizal Gusmiar selaku ketua umum. Saya sudah mengirim semua kegiatan yang akan dilakukan Pak Rizal hari ini. Dan saya sedang meninjau rumah di Puri Indah, Pak," jawab Putra dengan lancar.

Mendengar penjelasan tersebut, Harun pun mengembuskan napas lega. "Mama saya menghubungi kamu?" karena Harun mendapati beberapa panggilan terlewat di pukul delapan tadi pagi.

"Benar, Pak. Tapi, saya sudah mengatakan bahwa Bapak sedang tidak bersama saya."

"Oke. Saya akan menghubungi kamu lagi nanti."

Kemudian, sambungan pun terputus.

Dan yang dilakukan Harun adalah menutup matanya.

Bangun siang dan rasanya ia masih mengantuk.

Demi Tuhan, Harun tak menyukai perasaan ini.

Terbiasa beraktivitas dengan jadwal yang padat, mendadak saja hari ini Harun ingin meneruskan tidurnya. Sudah lama sekali rasanya tidak bermalas-malasan begini.

"Shit!" matanya kemudian terbuka.

Astaga, ia lupa.

Bertahun-tahun hidup dalam kewaspadaan, telinganya begitu terlatih mendengar suara-suara yang terasa janggal. Seperti suara samar yang berasal dari kamar mandi. Di saat dirinya masih terkapar di ranjang, gemericik air yang terdengar dari sana, justru membuatnya seratus persen terjaga.

Ada orang selain dirinya di apartemen ini.

Harun kontan menegakkan punggung.

Benar.

Ia memboyong istrinya malam tadi.

Astaga ...

Harun mengacak rambutnya, lalu pandangannya jatuh pada bagian atas tubuhnya yang tak berbusana. Namun tenang, celana training masih menggantung di pinggang.

Oh Tuhan ... Harun mengingatnya dengan jelas.

Mereka melakukannya lagi.

Ya, dan lagi.

Nyala bagai candu, dan sialannya tubuhnya enggan menjauh.

Setelah wanita itu berstatus halal untuknya, Harun seolah tak ragu. Walau interaksi mereka kaku. Tetapi percayalah, aktivitas yang mereka lakukan penuh dengan peluh.

Ya, Tuhan ... Harun harusnya segera mengusir bayangan tak senonoh di kepala mengenai Nyala dan tubuh nir busana wanita itu yang menggoda. Mengenai payudaranya yang membucah dan menegang kaku kala lidahnya menyapu. Tentang ekspresi dan mata sayu yang sialannya malah membuat Harun terus ingin memacu.

Nyala RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang