Dua Puluh Lima

72.1K 6.1K 611
                                        

"Sebelum ke hotel, kita perlu mencari buah-buahan baru untuk Nyala," tak memikirkan bahwa para bawahannya masih harus mengurusi kopernya dalam antrian bagasi, Harun telah mengeluarkan perintah lagi. Baru saja mendarat, ia terus mengecek arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Seolah-olah, ia tengah menjadi orang yang paling perhitungan di dunia ini. "Jam sepuluh lewat," ia bergumam diselingi decak.

Kakinya melangkah keluar dari garbarta dengan terburu-buru. Masih mengenakan kemeja batik, Harun merasa tak sempat lagi untuk sekadar mengganti pakaiannya sebelum berangkat ke bandara.

Sementara itu, Rafael tengah sibuk mendapati laporan begitu ponselnya kembali diaktifkan. Pesan beruntun berdatangan, berikut dengan panggilan-panggilan yang terlewat. Dengan panik, ia segera menghubungi nomor anggotanya yang terakhir menghubungi. Sembari menunggu panggilannya terjawab, jemarinya begitu cekatan membuka pesan-pesan dengan kode urgent.

Sambil berjalan mengikuti sang atasan, Rafael kemudian mendesah berat. Ia meneguk ludah, mencoba tak menampilkan kepanikan ia segera berbicara dengan anggotanya begitu panggilan telah terhubung.

"Maaf, Pak, tapi kita harus bergegas," ia berlari-larian kecil menyusul sang atasan. "Koper Bapak dan barang-barang lainnya, biar supir kita yang mengambilnya. Saya yang akan membawa mobil, Pak."

Penuturan tergesa yang dilontarkan Rafael membuat Harun dan juga Putra langsung menoleh tak mengerti pada pria itu. "Ada apa?" wajah Harun pun tak kalah serius. "Ada yang nggak berjalan sesuai rencana lagi?" imbuhnya terlihat marah. "Saya sudah sangat lelah dengan segala hal yang kalian—"

"Maaf, Pak. Tapi saat ini, kost-kostan Mbak Nyala kebarakan," Rafael tak pernah menyela ucapan sang atasan. Namun malam ini pengecualian. Ia sedang tak bisa menunggu. "Mbak Nyala pulang ke kost-kostannya sore tadi."

Harun menarik napas panjang demi mencerna informasi itu.

Dari balik lensa optik yang ia kenakan, tatapannya mendelik tajam.

Rahangnya mengerat, dan buku-buku jemarinya mengetat.

"Bagaimana bisa?" tanyanya rendah dan mengancam. Irisnya yang sehitam jelaga menggelap karena emosi mulai mendidih di kepala. Menahan diri agar tak meninggikan suara, Harun tetapkan Rafael sebagai tersangka. "Bagaimana bisa, kamu luput mengabari saya?"

"Maaf, Pak," Rafael menunduk benar-benar merasa bersalah. "Tapi, kita harus bergegas, Pak."

"Dan setelah kesalahan ini, kamu berani mengatur saya?" Harun menjadi defenisif. Ia melangkah mendekati ajudannya. "Ke mana semua orang-orangmu, hm?" ia tekankan telunjuknya di atas dada sang ajudan. "Kenapa nggak ada satu pun yang memberitahu saya tentang keberadaan Nyala malam ini?" tuntutnya mendesak. "Ke mana semua orang?"

"Maaf, Pak," Rafael tidak akan membela dirinya. "Siska dan Denny saya tugaskan ikut mengejar mobil milik orang suruhan Tirta Malik. Dari laporan sebelumnya, kondisi tempat tinggal Mbak Nyala terpantau aman. Tidak ada lagi orang-orang Gusti Hanif yang berjaga di sana."

Dan Harun terlampau mahir mengendalikan diri di tengah hiruk pikuk bandara. Jadi, dengan cepat, ia putar tumit. "Cepat, bawa mobil ke sini!" serunya keras.

"Siap, Pak!"

Ketika Rafael mulai berlari, Putra pun bergegas mengikuti. Namun, ia teringat sesuatu. Buat dirinya kembali menghadap sang atasan. "Sebaiknya, Bapak menunggu di apartemen saja," sarannya yang kontan membuat atasannya mengerutkan kening pertanda tak suka. "Lokasi kost-kostan Mbak Nyala sedang ramai saat ini. Polisi dan petugas keamanan pasti sudah berada di sana, Pak. Dan saya yakin, media pun sudah meliput kebakaran tersebut."

"Jadi?" Harun menanti tak sabar. Ia merasa benar-benar ingin murka.

"Bapak nggak boleh terlihat berada di sana."

Nyala RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang