Tidak diangkat.
Nyala lantas menelan ludah.
Ia sebenarnya gugup ketika menghubungi nomor tersebut. Tetapi sekarang, sudah jam sebelas malam. Biasanya, bila laki-laki itu tidak pulang ke apartemen, beliau akan mengirimkan Siska untuk menemaninya. Namun, ketika tadi ia menghubungi Siska, ajudan wanita itu berkata, tidak ada perintah dari sang ketua umum untuk menemani Nyala.
Well, mereka semua bergerak berdasarkan perintah atasan. Jadi, Nyala bisa menyalahkannya. Kemudian, Siska menyuruhnya untuk menghubungi ketua umum langsung. Barang kali sang ketua umum lupa mengabarkan. Dan itulah yang membuat Nyala menghubungi suaminya.
"Tapi kok nggak diangkat sih?" Nyala mengembuskan napas berat. Secara konstan, tangannya membelai bagian perutnya yang tak lagi rata. 14 minggu. Wow, Nyala tidak percaya bahwa dia sudah mempertahankan kandungannya selama itu. "Kita nggak makan malam dong," bahunya melemas, bibirnya mengerucut muram. "Bapak kamu lagi di mana, ya? Bapak kamu lagi ngapain sekarang? Dia pasti lagi sibuk, ya? Kira-kira, dia inget kita nggak?"
Pandangan Nyala lantas mengarah pada meja makan yang terisi oleh beberapa hidangan. Ia sedang berinisiatif tuk memasak makan malam. Makanya, ia meminta Siska menemaninya belanja sore tadi. Mengingat bahwa ia mulai bisa makan malam dengan metode suap dari tangan seorang Harun Dierja, Nyala pun mencoba memasak makanan untuk mereka berdua.
Tetapi sepertinya, hal itu sia-sia.
Harun Dierja, tidak ada.
Dan itu artinya, Nyala dan bayinya tidak bisa makan malam ini.
"Padahal, pengin banget makan kari ayam," ia menyentuh sendok yang berada di dalam mangkuk berisi kari ayam buatannya. Menatap empat potong perkedel berisi udang yang juga ia buat sendiri. "Laper," bibirnya melengkung sementara tangannya terus mengusap perutnya. "Kamu laper 'kan? Tapi nanti, kalau kita makan takutnya kita muntah-muntah, ya? Bapak kamu nggak ada. Aku takut malah ngecelakain kamu nantinya."
Nyala khawatir bila ia mencoba makan sendiri, ia akan berakhir muntah-muntah lagi.
Mengingat ia hanya sendirian di apartemen ini. Nyala takut, tidak bisa meminta bantuan pada siapa pun andai ia pingsan.
Sambil menghela napas berat, Nyala memutuskan untuk menyimpan makanan-makanan tersebut di lemari es. Supaya besok, ia bisa memanaskannya.
Ya, lebih baik begitu saja.
Dan di sisa malam, Nyala berusaha tidur dengan perut lapar.
Entah kenapa, rasanya malam ini terasa berbeda. Dan rasa laparnya, sungguh-sungguh menyiksa.
***
Semesta membuat kehidupan manusia layaknya menaiki sebuah roller coaster. Kita dipersilakan memilih tuk berteriak, menangis, tertawa, atau bahkan tetap diam selama permainan berlangsung. Sebab, tak semuanya mendapat tamparan angin yang sama. Tak semuanya pula memiliki adrenalin yang serupa. Makanya, berhentilah mengomentari. Karena bahagiamu dan bahagianya tidak bisa disandingkan.
Terkadang, bukannya tak ingin berbagi cerita. Hanya saja, takut bila tanggapan yang diterima tidak sesuai ekspektasi yang mengendap di kepala. Makanya, banyak yang memilih memendam masalah. Bukan apa-apa, menangis sendirian lebih berguna, dibanding mendengar diri terus dicerca.
Dan itulah yang Nyala rasakan sekarang ini.
"Ada yang mau gue omongin," Ajeng menggeser piring dan mangkuk sotonya sedikit ke kiri. Walau masih tersisa makanan di sana, Ajeng merasa sudah kenyang. Sambil melipat kedua tangan di atas meja, ia menatap rekannya dengan pendar serius.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nyala Rahasia
RomanceSebagai putra sulung, Harun diberi warisan politik yang membingungkan. Alih-alih bahagia, ia justru menderita sakit kepala tiada habisnya. Partai yang didirikan orangtuanya, menyisakan kader-kader kacau yang minta dibina. Hingga geliat saling sikut...