Lima Puluh

24.3K 3.5K 304
                                    

Hidup adalah lembaran-lembaran buku penuh ketidakpastian. Namun, tiap bagian menyimpan cerita yang beragam. Barang kali, kita belum menemukan bagian paling menyenangkan. Tetapi, percayalah semesta tak pernah salah mengukir kisah tuk disajikan.

Entah itu dengan dia.

Atau bisa saja, memang bukan dia orangnya.

Sederhananya, teruslah melangkah.

Supaya goresan tinta takdir, tak berhenti hanya karena kita merasa hampa.

Namun, Nyala tahu dunianya sedang tidak baik-baik saja.

Ia dijemput paksa oleh ajudan seorang wanita paruh baya, yang secara struktural merupakan ibu mertuanya. Namun, sepertinya ia tak akan pernah diakui. Ia dibawa ke sebuah hunian yang sama mewahnya dengan milik suaminya. Langkah-langkahnya yang nyaris goyah, menapaki marmer putih yang terbentang dingin. Ia bak tawanan yang berbuat salah. Atau dalam situasi ini, ia terlihat bak penjahat yang telah menoreh dosa.

Ia menyusuri ruang demi ruang.

Matanya dimanjakan oleh berbagai pernak-pernik mewah yang menawan.

Namun hatinya tahu, bahwa dia ke sini bukan untuk diajak berwisata. Ia dijamu demi sesuatu yang tidak seharusnya ada. Ya, bayinya. Dan juga pernikahannya.

Setelah melawati foyer, mereka tak berhenti di ruang tamu. Tetap melangkah, hingga tibalah Nyala pada ruang keluarga yang diisi oleh furniture-furniture bernuansa kayu yang terasa hangat. Bahkan marmer putih yang tadi tersentuh oleh kaki telanjangnya. Kini beralas permadani lebar yang lembut. Satu set sofa berwarna abu-abu yang tampak mahal itu, melembutkan pandangannya.

Tetapi kemudian, ia sadar sudah ada yang menantinya di sana.

Duduk dengan anggun, Dewi Gayatri memangku gelas keramik. Rambutnya yang terbiasa digelung rapi diberbagai kesempatan, kini tergerai sebahu. Dengan helaian-helaian rambut memutih di antara lembaran surainya yang hitam, wanita itu masih tampak menawan walau usia telah merenggut masa mudanya. Dan kini, sang tuan rumah tengah menatap Nyala dengan senyum lembut sampai ke mata.

"Kamu sudah datang?"

Andai Nyala tidak pernah melihat wanita setengah baya itu marah di ruangan ketua umum partainya, Nyala pasti sudah beranggapan bahwa sambutan itu benar-benar tulus untuknya. Apalagi dengan senyum yang tersaji di wajah, wanita itu benar-benar terlihat ramah. Sayang sekali, hardikan yang wanita tersebut tuangkan di hari itu, bahkan masih membekas dalam ingatan. Jadi, Nyala tak mampu menghentikan dirinya untuk tidak berpikir jelek.

"Se—selamat malam, Bu?" sambil menelan ludah, ia haturkan salam dengan terbata.

"Selamat malam juga," senyum sang Dewi Gayatri terhampar di wajah. Wanita itu mahir dalam berpura-pura. Pengendalian dirinya luar biasa. Hanya saja, bila itu menyangkut putra-putrinya, ia bisa berubah layaknya singa yang mencari mangsa. "Silakan duduk," ia menunjuk sofa di depannya dengan senyum yang tak lekang. "Kamu sudah makan malam?"

Dengan jantung yang berdentam kuat, Nyala mencoba melangkah menuju sofa yang ditunjuk tadi. Terima kasih pada ruangan yang luas ini. Karena membuat jarak antar sofa, terasa begitu jauh. "Sudah, Bu," jawabnya kikuk.

"Baik. Kamu mau minum apa?"

"Oh, nggak perlu repot-repot, Bu," Nyala menolak segera.

"Saya nggak repot. Toh, sepertinya kita akan berada di tempat ini dalam waktu yang lama. Harun belum tiba. Jadi, kamu perlu minuman untuk melepas dahaga, bukan?" ia memanggil asisten rumah tangganya. "Teh, mau?"

Senyuman itu tampak menakutkan.

Jadi, Nyala tak sadar telah meremas kedua tangan yang berada di atas pangkuan.

Nyala RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang