"Mbak Nyala sudah sampai, Pak."
Mesin motor Nyala berhenti menderu tepat di sebelah mercy hitam yang terparkir mengkilap di basemen gedung terbengkalai yang sudah beberapa kali, menjadi tempat pertemuannya dengan Sanusi Wijaya. Setelah membuka helm dan menyangkutkannya di salah satu spion, Nyala pun melangkah ke arah pintu mobil yang sudah dibukakan untuknya. Ia sempat melirik pada ajudan tersebut, dari cerita teman-temannya sesama frontliner, Nagasaki—ajudan sang ayah biologis, merupakan orang yang mengerikan.
Dan diam-diam, Nyala menyetujui hal itu.
Sebab, setelah beberapa kali bertemu, Nyala bisa memastikan bahwa selain tak memiliki senyuman di wajah. Pria itu juga memiliki aura dingin yang begitu menyeramkan.
Astaga, sudahlah, tidak baik menilai orang.
Nyala kemudian mengganti fokus utamanya, pada pria setengah baya yang duduk dengan kacamata baca di dalam mobil itu. Sungguh, tiga tahun bekerja di lembaga partai yang sama tak membuat hubungannya dan sang ayah biologis memiliki kemajuan. Tapi, ya, apa sih yang Nyala harapkan?
"Staf DPP harus tiba lebih awal 'kan?"
Seperti biasa, tanpa basa-basi, Sanusi Wijaya langsung mengutarakan keperluannya. Bahkan tanpa menoleh, ia tampak serius membaca sebuah artikel dari layar ipadnya.
"Iya, Pak."
Nyala tidak memiliki panggilan khusus untuk membedakan kedudukan pria itu di hidupnya. Ia menyamaratakan panggilannya sebagaimana yang biasa ia ucapkan untuk para petinggi partai di DPP Nusantara Jaya. Toh, pria berumur lewat setengah abad itu pun, tak pernah membahasakan diri, sebagai ayahnya.
Melalui ekor mata, Sanusi melirik. Kemudian, ia pun mengerling pada asisten pribadinya yang berada di kursi depan. "Berikan itu pada Gusti Raya," ucapnya untuk Nyala setelah melihat sang asisten menyerahkan botol bening berbahan kaca kepada wanita itu. "Para staf tidak akan diperiksa saat memasuki ballroom hotel. Maka, selundupkan benda itu dan pastikan kamu memberikannya pada Gusti Raya."
Nyala enggan menerimanya.
Tetapi sayangnya, ia tidak punya kuasa tuk menolak.
"Apa ini?" tanyanya sambil menimbang-nimbang isi botol berwadah gelap itu.
"Bukan urusan kamu," jawab Sanusi sekenanya. "Dan pastikan, ponsel kamu aktif setelah ini."
"Mau ngapain lagi sih?" Nyala bertanya dengan nada kesal. "Bapak mau nyelundupkan apa?" cercanya berani. "Ini bukan sianida 'kan, Pak?" dengan ngeyel, ia terus merongrong orang tua itu agar memberitahu isi dari botol tersebut. "Saya nggak mau ada Mirna jilid dua di Rakernas. Kalau sampai hal itu terjadi, saya nggak akan segan-segan nuduh Bapak," ancamnya kemudian.
Sanusi Wijaya mendengkus keras. Sebelah bibirnya terangkat sinis kala ekor matanya melirik wanita muda di sebelahnya. "Dan kalau hal itu terjadi, saya bisa memastikan bahwa kamu ikut terlibat," ia ikut mengancam. "Ingat, Nyala, jadilah bisu, tuli, dan buta, setelah kamu memberikannya pada Gusti Raya."
Sebuah perumpamaan.
Sayangnya, Nyala begitu memahami maknanya.
"Ibu Gusti Raya, sekretarisnya Pak Ketum?" ia perlu memastikan agar tak salah.
"Ya," jawab Sanusi tenang.
"Dan Bapak bisa menjamin bahwa obat ini bukan racun 'kan?"
Tawa Sanusi menguar di dalam mobil. "Nggak ada yang bakal mati malam ini. Saya hanya sedang menyiapkan sambutan yang akan dikenang oleh ketua umum partai kita. Beliau pasti senang dengan rencana yang sudah saya siapkan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Nyala Rahasia
Roman d'amourSebagai putra sulung, Harun diberi warisan politik yang membingungkan. Alih-alih bahagia, ia justru menderita sakit kepala tiada habisnya. Partai yang didirikan orangtuanya, menyisakan kader-kader kacau yang minta dibina. Hingga geliat saling sikut...