Lima Puluh Satu

56.5K 5.3K 262
                                        

Senja tak akan pernah bosan tenggelam dalam megah. Walau sebentar saja kemunculannya, namun sang senja percaya, ia akan dikenang selamanya. Membiarkan malam menggelungnya dalam pusaran kegelapan. Senja tak mengalami trauma, dan berjanji esok ia akan kembali dengan sinar keemasan yang lebih mengkilap lagi.

Sebagai fenomena yang berada dalam semesta. Senja tak pernah keliru menafsirkan perannya. Ia nikmati segala proses yang ada. Tidak terburu-buru, ia pukau tiap mata dengan warnanya yang indah.

Bukankah manusia sudah selayaknya berperilaku serupa?

Sayangnya, ada emosi yang kadang-kadang menghilangkan sadar yang mengendap pada diri.

Nyala salah satu dari sekian banyak manusia yang kerap diliputi rasa itu.

Namun, ia cukup bersyukur ketika tubuhnya yang ringkih direbahkan di ranjang apartemen dan bukan di kediaman ibu mertua yang tak sudi menerima keberadaannya. Harun Dierja menangkapnya ketika ia nyaris jatuh tersungkur. Membawanya dalam dekap, kemudian menyerukan namanya kuat-kuat. Ketika kesadarannya mulai hilang, Nyala sempat merasa tubuhnya terbang. Rupanya, Harun Dierja sedang mengangkatnya lewat langkah-langkah pria itu yang panjang.

Ia bawa cepat.

Mobil itu membelah malam dengan tepat.

Sungguh, ia lelah.

Kehamilan yang tak terencana.

Masa depan yang tak ada jaminan bahagia.

Dan sekarang, asal usulnya yang mendadak muncul ke permukaan.

"Kamu itu anaknya Sanusi Wijaya, Nyala. Itu bapak kamu."

Kemudian, Nyala di arahkan pada rombongan pria-pria berdasi yang memasuki lobi hotel dengan pakaian yang rapi. Usianya tiga belas tahun waktu itu. Dan dengan begitu semangat, sang ibu menjejalinya mengenai betapa hebat pria yang bernama Sanusi Wijaya padanya.

"Bapak kamu konglomerat. Kamu itu bukan anak biasa, La. Kamu anaknya Sanusi Wijaya."

Ya, tapi hanya sebatas anak haramnya.

Yang tak pernah diakui keberadaannya.

Yang tidak pernah diinginkan ada di dunia.

"Untuk apa kamu ke sini?"

Ia datang di usianya yang sudah hampir melewati angka 22. Menghadang Sanusi Wijaya, yang digadang-gadang merupakan pria yang membuat keberadaannya nyata di dunia.

"Saya butuh pekerjaan," itulah yang Nyala ucap kala mereka duduk berhadapan.

"Yakin, hanya butuh pekerjaan? Kamu tidak butuh uang? Atau, apakah ini akan menjadi awal, pemerasan?"

"Saya bukan mama," ucap Nyala geram.

"Well, kamu memang bukan dia. Tapi, kamu teramat menyerupai dia."

Dibanding Mayang, Nyala memang tampak begitu mirip dengan sang ibu.

Beberapa orang menyebutnya cantik, namun dingin. Ia kerap disangka akan mengikuti jejak ibunya, mengingat betapa miripnya mereka. Tetapi, Nyala justru bersikap antipati pada banyak lelaki. Dan hanya membuka hati pada Ilham yang kala itu menjadi satu-satunya kekasihnya di masa putih abu-abu. Setelah dipikir-pikir, Nyala menuruni rupa ibunya, tetapi sikap dan sifatnya nyaris mirip dengan pria yang membuatnya ada di dunia.

"Apa Bapak pernah merasa bersalah karena sudah meninggalkan saya dengan mama?"

"Saya tahu, saya tidak pernah keliru dalam mengambil keputusan."

Nyala RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang