Dua Puluh Tiga

44.1K 4.4K 293
                                    

Bola raksasa sudah memayungi semesta.

Sinarnya, tak lagi hanya seberkas cahaya redup tuk menghapus embun pagi di dedaunan. Panas yang terpancar dari sang pijar, bahkan teramat menyengat. Buat para makhluk fana, memilih bersembunyi kalau bisa.

Harun tidak berada di kantor DPP sejak pagi tadi.

Ia terus berkeliling demi menuntaskan janji temu yang mengandalkan basa-basi berkedok narasi. Padahal, yang ingin dicipta oleh setiap pertemuan adalah sebuah kesepakatan. Namun, Harun bukanlah orang yang mudah tuk diajak kerja sama. Prinsipnya terlampau ketat. Celah tuk menarik simpatinya begitu minim. Bila dirinya bukanlah ketua umum, Harun yakin orang-orang malas bertemu dengannya. Tetapi, karena ia adalah pemegang jabatan tertinggi tuk mewakili partai, mau tak mau orang-orang itu pun harus berurusan dengannya.

Sekarang, ia mulai memikirkan saran dari sang asisten untuk membuka rumahnya yang berada di kawasan Puri Indah. Walau ayahnya juga memberi masukan agar ia menggunakan paviliun yang berada di rumah orangtuanya saja untuk aktivitas partai. Namun, Harun telah menolak usul tersebut.

Bukan apa-apa, ia memiliki alasan kuat mengapa tidak mau menggunakan paviliun yang sudah dibangun tersebut. Alasan pertama, tentu saja karena kesehatan ayahnya. Bila Harun membawa tamu-tamunya ke sana, sesekali ayahnya pasti akan ikut muncul. Ayahnya, sudah seharusnya beristirahat saja. Tidak perlu mengurusi partai. Cukup menerima laporan bahwa partai baik-baik saja di tangannya.

Dan alasan kedua, tentu saja karena ibunya.

Well, ibunya memiliki ambisi sempurna untuk mewujudkan mimpi, menjadikannya kandidat calon presiden di masa yang akan datang. Makanya, sejak jauh-jauh hari, ibunya memiliki relasi yang luar biasa. Pertemanannya dengan para wanita pebisnis, sebanding dengan pergaulannya dilingkup politik. Diam-diam, ibunya mengumpulkan masa. Dan orang-orang itu merupakan orang-orang yang berpengaruh di Indonesia. Ngomong-ngomong, Menteri Keuangan, Hendarti Yamuna, merupakan adik bungsu ibunya.

"Bagaimana?"

Di dalam mobilnya yang sunyi, Harun melepaskan kacamata yang terasa berembun. Ia menerima sebuah sapu tangan dari asistennya dan mulai mengeringkan lensa optik tersebut.

"Apa keputusannya?"

"Sesuai yang Bapak minta, Mbak Nyala hanya akan di skorsing selama tiga hari," jawab Putra sembari membuka email pemberitahuan dari sekretaris Dewan Kehormatan Partai yang dikirim satu jam yang lalu. "Tapi masalahnya, Pak Hanif sepertinya nggak puas dengan hukuman itu, Pak. Beliau benar-benar ingin Mbak Nyala dipecat dari DPP."

Harun tahu.

Jadi, ia mengangguk kecil.

Memasang kembali kacamata tersebut di depan netra, Harun merogoh ponselnya di saku. "Apa saja yang diminta Hanif?"

"Pemecatan Mbak Nyala dan juga permohonan maaf Mbak Nyala secara resmi."

"Dia ingin permohonan maaf yang seperti apa? Konferensi pers?" Harun tertawa jengah mengingat tingkah-tingkah kadernya. "Atau dia ingin mengumpulkan para kader dari satu Indonesia, lalu menyuruh Nyala membungkuk kepadanya di depan mereka semua, begitu?"

"Ya, Pak," jawab Putra sambil meringis. "Kurang lebih, seperti itulah yang diinginkan Gusti Hanif Wibowo."

Mendengkus, Harun menggelengkan kepala merasa lucu pada tingkah dewan kehormatan rakyat itu. Hanif memang suka sekali membesar-besarkan masalah. Namun, Harun tak dapat menyingkirkannya begitu saja. Hanif merupakan salah seorang kader senior yang menyumbang sangat banyak untuk kepentingan partai. Memilih membuka pesan-pesan yang masuk selama diskusinya dengan Bambang Setiawan, ketua umum partai Amanat Perjuangan. "Biarkan dia menghadap saya kalau dia kurang puas dengan hukuman itu," titah Harun mencoba membaca isi-isi pesan yang sejujurnya terlampau sering ia abaikan. "Lalu, bagaimana dengan Nyala?"

Nyala RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang