Lima Puluh Dua

21.7K 3.4K 271
                                    



Meja itu berbentuk bundar dengan lapisan marmer bercorak abstrak yang ditutup oleh kain persegi dengan borderan keemasan di tiap-tiap ujungnya. Tiada kesan oriental dari private room yang dipilih oleh para tamu sebagai tempat menikmati makan malam. Sebagai tambahan, kursi-kursi yang mengelilingi meja bundar tersebut justru terbuat dari batang-batang bambu yang dipernis lewat cairan kuning pucatnya.

Makanan yang terhidang adalah menu-menu khas nusantara. Minuman yang berada di atas sana pun, terbuat dari campuran rempah yang khasiatnya untuk menghangatkan tubuh dari lelahnya menghalau cuaca.

Meski diawali dengan keramah-tamahan, tetapi percayalah mereka-mereka yang berada di sana saling menyembunyikan aura ketegangan di balik binar yang dipaksa berpura-pura bahagia. Saling melempar pembahasan ringan sembari mengunyah makan malam, mereka seolah paham bahwa perbincangan utama baru akan dimulai setelah piring-piring di atas meja diangkat oleh para pelayan. Mungkin sajian pencuci mulut, dapat mengurangi pedasnya ucapan yang nanti akan saling mengisi ruang.

"Jadi, bisa kita hentikan basa-basi ini?" Sanusi Wijaya adalah orang sibuk. Ia memiliki agenda lain untuk diselesaikan. "Tujuan dari makan malam kita, jelas bukan karena kamu merindukan sahabat lama 'kan, Mas Hassan?" ia lipat tangannya di atas meja. Menatap satu per satu anggota keluarga yang mengundangnya makan malam. "Mbak Dewi juga nggak kelihatan senang sejak kita berjumpa beberapa saat lalu."

Well, pertemuan ini memang dirancang oleh Dewi Gayatri secara sengaja. Membawa serta suami dan anak sulungnya, mereka memang harus segera berbicara. Tentunya, dengan Sanusi Wijaya yang sudah ia anggap sebagai biang kerok dari semua masalah.

"Saya ingat, kamu sempat menolak ide kami untuk menjodohkan Inka dengan Harun atau Hasbi ketika kita baru saja merintis Nusantara Jaya," Hassan Aminoto membersihkan sudut bibirnya sembari mematri perhatian pada Sekjen partai Nusantara Jaya. Sahabat lama, yang teramat berjasa, membantunya mendirikan partai sesuai dengan ideologi yang ia miliki di kala itu. "Rupanya, kamu sudah berencana menyelundupkan anak harammu agar dinikahi oleh Harun," imbuh Hassan tanpa sedikitpun terbesit senyum di wajah. "Kamu benar-benar nggak terduga, San," kali ini ekspresinya tampak kecewa. "Kita mendirikan partai bersama-sama. Tapi kenapa, kamu justru ingin menghancurkan kerja keras kita?"

"Harun terlalu lembek untuk dibiarkan memimpin partai," jawab Sanusi tanpa sungkan. "Saya sudah terlanjur mengeluarkan banyak uang untuk mendanai partai," tambahnya dengan memperlihatkan ironi lewat ekspresi wajah.

"Dan saya ingat betul, kamu menolak saat saya mengusulkan pencalonan diri kamu untuk memimpin partai."

"Karena saya memang nggak tertarik, Mas Hassan," Sanusi menjawab pertanyaan tersebut dengan cepat. "Sedari awal, Mas Hassan tahu betul, saya nggak suka menjadi yang menonjol dan membuat public menaruh banyak perhatian pada saya. Saya menyukai peran di belakang layar. Di mana, saya bisa mengendalikan semuanya dengan lebih leluasa."

"Termasuk dengan menyabotase Rakernas pertama Harun 'kan?" Dewi Gayatri yang tadi berusaha diam, akhirnya tak kuasa menahan laju lidah. Dengan tatap bengisnya, ia bersumpah tak akan memaafkan Sanusi Wijaya yang telah mengacaukan kehidupan anaknya. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Kamu menolak menjadi ketua umum partai. Tapi, kamu malah ingin menyelakakan keberlangsungan partai," ujarnya menahan geram.

Harun sendiri belum memiliki kesempatan untuk ikut dalam obrolan yang pasti berlangsung sengit.

Sejujurnya, Sanusi tak terkejut bila akhirnya Hassan Aminoto dan Dewi Gayatri mengetahui fakta di balik tragedi Rakernas malam itu. Jadi, tak ada keterkejutan yang ia rasakan saat ini. Dengan santai, ia tersenyum kecil sambil melempar tatap tak percaya pada Harun Dierja. "Ternyata, Harun memang bukan anak yang baik, ya?" ceteluknya tanpa rasa bersalah. "Buktinya, dia sudah tahu lama mengenai keterlibatan saya di malam Rakernas itu. Tapi rupanya, dia nggak segera memberitahu orangtuanya. Ckck, kamu memang cocok dengan Nyala, Run. Kalian adalah pembangkang yang sulit diatur," cercaannya itu berbalut dengan gurau di wajah. "Well, seperti yang tadi saya sampaikan Mbak Dewi. Harun masih terlalu hijau untuk mengetahui seluk beluk politik. Dia juga begitu idealis, dengan mencoba menyingkirkan kader-kader kita yang selama ini sudah berjasa besar untuk partai. Karena itu, saya merasa dia perlu dikendalikan."

Nyala RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang