8. JANGAN KHAWATIR

737 51 30
                                    

Menjagamu begitu penting. Tapi bagiku, menjaga hatimu jauh lebih penting.

"Papa tolong, Paa!" Mala berteriak memanggil Panji.

Alisia gemetar melihat kepala Rakhasya merembeskan darah kental. Bagaimana tidak, sebuah botol kaca melayang hendak melukai dirinya. Beruntung Rakhasya yang lebih dulu melihat langsung sigap mendekap ia dan sang putri yang tengah menghadap dirinya.

"Ya Allah, ada apa ini?" Panji terkejut bukan main mendapati Mala tengah mendudukkan Rakhasya di kursi teras. Bahkan dengan tangan bergetar putrinya itu menyentuh kepala bagian belakang Rakhasya.

Mala menangis melihat darah menempel di tangannya, sementara Rakhasya merasakan pusing akibat lemparan botol kaca yang mengenai kepalanya itu. Namun begitu, ia masih berusaha menenangkan Alisia dan Mala.

"Pak, tolong antar saya ke paviliun."

"Tidak, Sya. Lukamu harus di obati."

"Rakha." Mala bergumam lirih, Rakhasya menangkap ketakutan dalam tatapan gadis itu, di genggamnya tangan Mala sebagai penyampaian bahwa ia baik-baik saja.

"Mala, udah jangan nangis." Pinta Rakhasya.

"Cepat bantu dia masuk, Mas. Rasya terluka." Alisia ikut menangis juga ketakutan.

Kaos putih Rakhasya terlihat memerah akibat darah yang mengalir.

Panji menuntun sopir putrinya itu masuk rumah, memanggil Mbak Ira dengan tidak sabar.

"Iya, Tuan. Saya datang." Mbak Ira terkejut mendapati Rakhasya yang tengah memegangi kepalanya.

"Ya Allah, ada apa ini, Mas Rasya."

"Cepat ambilkan handuk kecil, sama air." Mala terus menggenggam tangan Rakhasya. Meaki ia tahu, aksi itu tak luput dari pandangan kedua orang tuanya.

"Sudah, jangan nangis. Ini nggak apa-apa kok." Rakhasya terus menenangkan Mala.

"Nggak apa-apa gimana?! Kepala kamu berdarah!" Mala membentak tanpa sadar.

Panji kembali keluar mencoba mencari apakah ada seseorang di luar. Nihil, tak ada seorang pun yang terlihat, hanya air hujan yang mulai mereda saja yang tersisa.

Pandangan pria itu tertuju pada botol yang pecah di lantai, Terdapat sebuah foto yang terselip. Foto Alisia yang tengah hamil dengan seorang pria yang mencium perut buncitnya.

Panji menggenggam erat foto yang mulai terlihat usang itu dengan emosi yang membuncah. Ini sudah keterlaluan baginya.

"Kau terlalu pengecut. Aku tak akan pernah membiarkan Alisia dan Mala jatuh ke tanganmu." Batinnya.

"Bu, biarkan saya pulang ke paviliun. Lagi pula, ini sudah terlalu malam. Tidak baik jika saya di sini." Rakhasya tetap memaksa.

"Tapi saya tidak akan mengizinkan kamu di paviliun sementara kondisi kamu seperti itu, Rasya," sahut Panji yang baru saja masuk.

"Maaf, Pak. Saya tidak enak."

"Tapi, Sya. Kamu sedang sakit."

"Sudah, Pa. Biarkan saja dia pergi." Mala mengambil keputusan final. Menuruti kemauan Rakhasya dengan hati jengkel.

"Biarkan saja dia merawat dirinya sendiri. Dia kan kuat, dia pasti bisa. Biarkan saja dia pulang." Mala melangkah tertatih meninggalkan ketiga orang itu.

DEAR RAKHASYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang