22. TEPATI JANJIMU

763 70 57
                                    

Brakk!!

Rakhasya memejamkan matanya, menahan diri dengan tangan agar tak terbentur jok depan mobil.

"Ya Allah, hati-hati, Pak."

"Maaf, Den. Itu di depan ada kecelakaan."

"Biar saya lihat sebentar."

Sang sopir mengangguk setuju, kemudian mengikuti Rakhasya turun.

***

"Mala nggak nyangka Ayah setega itu!"

Bentakan Mala berhasil membuat Yusman dan Akbar menoleh cepat.

"Om, kita dalam masalah besar," bisik Akbar.

Akbar bergerak gesit mengejar Mala yang hendak melangkah pergi. Menarik pergelangan gadis itu lalu mengunci di belakang punggungnya.

"Lepasin Gue, Akbar!" Mala meronta walaupun gagal.

"Kenapa kau belum tidur, Fatma."  Yusman berjalan santai mendekati keduanya.

"Itu artinya aku memang harus lihat dan dengar kejahatan Ayah yang sebenarnya!" Mala masih menatap nyalang pada lelaki yang telah mengukir jiwa raganya ini.

"Tidak seharusnya kamu tahu, Fatma."

"Kenapa Ayah tega melakukan ini padaku, Ayah?" Mala mulai berkaca-kaca.

Baru beberapa menit lalu ia mendengar semua rencana jahat ayah nya itu bersama dengan orang yang kemarin hampir merenggut kehormatannya.

"Ayah biadab. Mala benci sama Ayah!"

Plakk!

"Aarghht!" Rakhasya memegangi pipinya. Ini kali kedua ia merasakan hal yang sama. Rasa sakit seperti yang ia rasakan sebelumnyabbersamaan dengan gelas kopi yang pecah.

"Den, Aden tidak apa-apa?"

"Tidak, Pak. Sepertinya kita harus segera pergi."

Hati Rakhasya semakin gundah. Niatnya ingin ikut membantu korban kecelakaan ia urungkan.

"Jangan pernah bicara tak sopan padaku, Fatma. Aku ayah kandungmu. Panji itu mandul, Fatma. Mandul!"

Flash back on

"Kenapa kau ceroboh sekali anak bodoh!"

Samar mendengar perdebatan di ruang kerja sang ayah Mala pun menghapus air matanya lalu turun dari ranjang, memutuskan untuk melihat dengan siapa Yusman bicara. Ia pelankan langkah menuju ruangan yang sedikit jauh dari kamarnya itu agar tak menimbulkan kecurigaan.

"Andai kau tak bertindak bodoh, Fatma pasti akan menerima perjodohan kalian."

"Dari mana Om yakin? Isi kepalanya saja penuh dengan anak kampung itu, Om."

"Kau saja yang kurang usaha, kau kurang bisa merayunya. Harusnya kau membuatnya semakin membenci anak kampung itu, bukan malah berusaha memperkosanya."

"Aku tidak punya cara lain, Om. Aku juga ingin membalas sakit hatiku, dia berani menamparku di muka umum."

"Tapi harusnya kau ingat, kita belum dapat apa-apa darinya. Kau mau mengandalkan hasil penjualan mobilnya itu? Itu tidak ada apa-apa nya, Akbar. Kita harus dapat lebih banyak lagi."

DEAR RAKHASYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang