Siuman..

937 42 0
                                    

Selamat membaca...

.

.

"Gak apa apa. Karna adek, Gibran udah gak apa apa. Lebih baik kita berdoa untuk kesembuhan adek." ucap Gibran mengusap tangan sang bunda.

Bunda Sovi mengangguk mendengar ucapan Gibran.

Tak berapa lama Aldrich dan Febi keluar dari ruang rawat Bulan. Tanpa ayah Kai di sisi mereka.

"Bagaimana, apakah berhasil? Kondisi mereka berdua bagaimana?"

"Kakek, tenangkan diri dulu. Mereka baik, syukurlah transfusinya berhasil dan adek sudah melewati masa kritisnya. Adek masih bersama kita. Adek tidak menyerah." ucap Aldrich dengan kedua matanya yang sudah memerah. Sedangkan Febian sudah terisak dalam diam. Dia menangis lega dan bersyukur karna sang adik sudah melewati masa bahayanya.

Mama Vera yang melihat sang putra menangis, mendekat lalu memeluk sang putra.

"Abang berhasil. Putra mama hebat. Makasih nak, sudah menyalamatkan nyawa adikmu." ucap mama memeluk Febian sambil mengusap rambut Aldrich dan membawa tubuh Aldrich untuk ia peluk juga.

"Putra putra mama hebat. Mama bangga sama kalian. Kalian berhasil menyelamatkan adik kalian. Walau mama tau pasti berat untuk kalian, melihat kondisi adik kalian saat di dalam sana tadi."

"Bahkan wajah dan pakaian kalian dipenuhi oleh darah adik kalian. Mama belum pernah melihat putra putra mama secengeng dan seberantakan ini."

Seolah beban berat terangkat dari pundaknya. Aldrich membalas pelukan mama Vera tak kalah erat. Ia semakin menangis saat mama Vera mengusap air matanya yang terdapat darah milik sang adik di wajahnya.

Mereka menangis di tempat mereka masing masing. Alan dan Nala bahkan langsung menerjang tubuh mereka bertiga, setelah bangkit dari saat tubuh mereka meluruh ke lantai. Dengan isak tangis yang cukup kencang. Nala mengucapkan banyak-banyak terima kasih pada kedua abang dokter mereka. Begitu pun Alan.

"Makasih abang. Makasih. Na gak tau gimana jadinya kalo gak ada kalian yang cepat nanganin adek. Makasih abang. Makasih."

"Kalian penyelamat adek. Al juga berterima kasih sama kalian. Makasih bang Ebi, makasih bang Aldri. Makasih. Makasih banyak."

Aldrich dan Febian tidak menjawab. Mereka hanya membalas pelukan kedua adik mereka. Karna saat ini mereka sedang menenangkan diri.

Setelah cukup lama mereka berpelukan. Giliran ayah Sam yang menerjang tubuh kedua dokter muda tersebut.

"Terima kasih. Ayah sangat sangat berterima kasih dengan kalian. Ayah gak tau gimana jadinya kalo adek gak selamat dan kembali dijemput sama bunda bunda kalian. Ayah gak bisa bayangin gimana jadinya, kalo hal itu terjadi. Gimana jadinya kalo kalian terlambat menyelamatkan adik kalian." ucap ayah Sam dengan tubuh bergetar memeluk Febian dan Aldrich.

"Ayah bahkan malu sama kalian. Padahal ayah juga seorang dokter. Tapi di saat putrinya kritis dan putra putranya sedang berjuang menyelamatkan adiknya. Ayah malah gak bisa berbuat apapun."

"Ayah minta maaf dan ayah sangat sangat berterima kasih. Ayah gak tau, gimana cara balas jasa kalian."

".." mereka berdua memeluk tubuh ayah Sam dengan erat.

"Kami takut ayah. Di dalam tadi, jantung adek sempat melemah dan berhenti. Kami sempat hampir putus asa. Tapi setelah kami menyebutkan kalian semua. Jantung adek kembali berdetak normal, hiks. Kami takut ayah, hiks. Wajah adek memutih pucat, hiks." ujar Febi dengan isak tangisnya. Aldrich hanya diam, tapi dari responnya yang juga memeluk tubuh ayah Sam dengan erat. Membuat siapa pun yang melihat, yakin jika ia membenarkan ucapan dari Febian.

Kenapa Harus aku... (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang