Memori yang perlahan terkikis membuatku menyadari jika dirimu mulai kehilangan dunia.
.
.
.Welang suka sekali udara siang ini, mendung disertai udara sejuk yang jarang sekali ia dipertemukan suasana seperti ini akhir-akhir ini. Puas sekali rasanya, tidak seperti biasanya yang hanya menikmati udara sejuk di ruangan ber-AC di kamar yang lama kelamaan membuat matanya kering dan perih.
Kalau seperti ini, Welang tidak masalah jika harus berlama-lama keluar dari rumah. Saking serunya menikmati suasana, Welang sampai tidak sadar jika kondisi taman sangat sepi. Ke mana orang-orang?
“Oh, ini kan siang, mana ada anak kecil main ke taman siang-siang.” Welang bermonolog sendiri.
Lantas ia clingak- clinguk. Kaget sekali, ada orang di sebelahnya tanpa ia sadari. Duduk terpisah di bangku sebelah, menatap Welang tanpa kedip lalu tak lama memalingkan pandang lurus ke depan sambil menyentuh lengannya yang sepertinya terluka. Terdapat perban melintang di siku dan terlihat kesakitan.
Welang sejenak salah fokus pada wajah orang itu, terlihat tidak asing seperti mirip seseorang. Namun tak cukup mampu mengingat, Welang kembali salah fokus pada luka orang itu, terlihat ngilu karena sedikit membengkak. Mungkin untuk mengurangi rasa sakit perbannya selalu diusap-usap.
Sudah tahu sakit, kenapa dia di luar? Pikir Welang begitu, maka dengan rasa penasarannya, pemuda itu memberanikan diri mendekat dan sok kenal—bermaksud menegur.
Welang berdiri di depan pemuda tersebut tanpa rasa malu. “Rumahmu di mana? Mau aku antar pulang? Itu lukamu sepertinya sakit, Jangan banyak keluar rumah kalau sakit.”
Pemuda itu mendongak, menatap Welang yang menutupi cahaya matahari dari balik kepalanya.
Pemuda bermata sipit itu sontak terkesiap. “A-aku tidak apa-apa.”
“Kenapa bisa luka? Jatuh? Kecelakaan?” tanya Welang penasaran.
“Jatuh dari tangga karena di dorong adikku. Tapi sudah tidak apa-apa, ini sudah lebih baik.”
Welang mengernyitkan kening kala pemuda itu malah tersenyum setelah mengatakan musibahnya dengan ringan. Bukankah seharusnya dia marah? Minimal kesal.
“Kenapa nakal sekali adikkmu? Kalian bertengkar sebelumnya?”
“Ah itu. Kami sering bertengkar, tapi yang kemarin itu gara-gara...”
Pemuda itu tak melanjutkan ucapnnya, justru berpaling saat sebuah mobil Alpard hitam terparkir di parkiran.
“Gara-gara apa?” Tanya Welang yang masih penasaran.
“Adikku sedang sakit, jadi aku memaklumi perbuatannya.”
Memang sedikit agak lancang pada orang asing, tapi Welang tetap penasaran. “Memangnya sakit apa adikmu sampai bisa membuat terluka? Bukannya harusnya orang sakit itu lemas dan tidur saja di tempat tidur?”
Pemuda itu malah makin menunjukkan sikap aneh di depan Welang. Tadi tersenyum dan kini malah terlihat berkaca-kaca. Entah sebab apa yang terjadi pada suasana hatinya. Welang tidak mengerti dan membuatnya sedikit merasa bersalah. Apa pertanyaan Welang membuatnya tak nyaman?
Ia lantas duduk di sebelahnya dan mengembuskan nafas panjang. Ia mengurungkan niat untuk mendengar jawaban dari pemuda tersebut. Lagi pula, Welang tidak mau merusak suasana terbaiknya hari ini.
“Siapa namamu?” Tanya Welang.
“Aku Dame.”
“Aku Welang. Nama panggilanku Elang.” Welang menyebut namanya sendiri, padahal Dame tidak bertanya siapa namanya.
Dame menatap Welang kembali seperti pertama kali Welang memergokinya. Tatapannya membuat Welang terus merasa penasaran.
“Kenapa menatapku seperti itu?” tegurnya, “aku menyukai perempuan.”
Dame terbahak singkat. Kemudian tak lama kembali menatap lurus, menunggu matahari menunjukkan wajah dibalik awan mendung yang seperti gambaran suasana hatinya.
Welang ini merasa cepat sekali akrab dengan orang, siapa saja diajaknya bicara langsung dianggap teman. Dan feeling nya berkata, jika Dame akan menjadi temannya. Welang ingin lebih dekat karena sangat penasaran dengan tatapan hangat yang terpancar dari sorot mata itu.
“Siapa nama adikmu itu?”
Keheningan dalam suasana sepi di taman kota itu terganggu lantaran munculnya pertanyaan tiba-tiba dari Welang. Dame pun menoleh, menunggu Welang melanjutkan pertanyaannya.
“siapa nama adikmu itu? Aku penasaran bagaimana seorang adik bisa-bisanya melukai Kakaknya sendiri.”
Namun tak lama setelah mengucapkan itu, tiba-tiba mata Welang kembali berbayang disertai kepala yang mendadak pusing. Welang menggeleng, berusaha menetralkan kembali pandangannya. Beberapa saat kemudian, pandangannya kembali normal.
Dame yang melihat Welang terlihat linglung lantas berdiri dengan tangan yang menjulur.
“Ayo.”
Welang mendongak dengan mata yang berkedip-kedip bingung.
“Ayo, Dek. Waktunya kita pulang.”
Welang total kebingungan dan hanya memandang tangan yang menjulur di depannya. Sesekali pemuda itu menatap wajah Dame yang tersenyum kepadanya. Tatapan yang semula diselimuti antusiasme kini berubah menjadi tatapan polos.
Dame akhirnya mulai gemas, lantas ia menarik tangan Welang dan memaksa pemuda tersebut agar berdiri.
"Papa udah nunggu tuh, kita pulang ya?" Kata Dame sembari menuntun langkah tertatih Welang dengan penuh hati-hati.
Welang melirik ke arah mobil yang Dame tunjuk. Mobil Alpard tersebut rupanya sedang menunggu mereka berdua dan yang benar saja? Welang tidak ingat apa-apa.
"Ayo anak-anak waktu bermainnya sudah habis. Cepat masuk, keburu malam."
Seruan pria paruh baya dari dalam mobil seakan menambah kebingungan yang Welang alami. Semuanya asing, tempat ini dan orang-orang ini.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Welang Mouligue
Dame Mouligue
Castnya yang lain akan menyusul saat nongol di bab selanjutnya.
Anyeong. Akhirnya lahir anak baru juga. Okee deh segini dulu yaa. Semoga sukak. Mau tes ombak dulu kalau ramai akan aku lanjutkan. Kalau tidak berati alur dan cerita tidak menarik dan akan aku cut di minggu depan. 🤗🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoar Hometown
Fanfiction{Brothership, Familly, Slice Of Life, Sicklit, Angst} Semuanya terasa sangat membingungkan bagi Welang. Dalam ingatannya rumah adalah tempat yang paling nyaman dan menyimpan banyak sekali kenangan yang sulit dilupakan. Namun saat ini, rumah dan selu...