Kehidupan itu, Ada Datang dan Pergi

578 83 73
                                    

"Tuhan menciptakan penyesalan agar kita tahu bahwa tidak semua hal bisa diulang kembali."

.
.
.

"Ma sekarang, semuanya bakalan baik-baik aja, kan?'

'Aku udah ngelakuin hal yang benar, kan?'

Dame mengela napas panjang seraya menggaruk kepala belakang yang tidak gatal. Posisinya pun berulang kali berganti, yang kali ini punggung dibiarkan bersandar pada dinding.

Entah suasana apa yang mematik Dame menjadi teringat pada kilasan balik tentang percakapan terakhirnya bersama Nuha beberapa tahun lalu. Ingatan itu tiba-tiba muncul dikepala hingga membuat Dame tak dapat mengartikan apa yang terjadi pada hatinya sekarang. Gundah, cemas atau..

Mungkin Dame terlalu rindu dengan Ibunya, terlebih keadaan Welang yang sekarang, mengingatkan Dame pada masa berat itu. Masa saat ibunya merawat Welang dalam kondisi yang seperti sekarang.

Dame seperti Deja vu, melihat Welang kembali harus menjalani hidup dari Nol. Ya.. walaupun tidak sampai tahap Nol atau minus yang dimaksud, tapi hanya saja, fase Welang yang sekarang membuat Dame menjadi sedikit lebih sensitif karena pernah melaluinya.

"Iya, pinternya. Bagus Elang, jangan ragu. Fokuskan ke telapak kaki... iya baguss!"

Lamunan Dame pun pecah. Fokusnya kembali tertuju suara terapis yang tengah melatih Welang berjalan dengan nada semangat. Dame lalu bangkit, menghampiri sang adik karena penasaran.

"Da-me.." lirih Welang, membuat terapis pria tersebut menoleh ke belakang. Sontak alisnya mengeryit tipis dengan decakan samar dibibir.

"Ya allah Mas, udah saya bilang jangan disini dulu, Mas Elangnya nanti nggak mau jalan lagi." tegurnya. Setelah berhasil membujuk Welang berjalan sepuluh langkah dengan susah payah, ia tak ingin kedatangan Dame malah justru menjadi penghambat.

Kehadiran Dame membuat Welang menjadi sangat sulit diatur. Dia akan merengek dan hanya akan melakukan aktivitas apapun bersama Dame. Welang juga akan cenderung malas-malasan terapi karena Dame selalu memanjakannya.

Saat Welang merengek, Dame selalu akan menenangkan dan meminta semua orang untuk mengalah. Alhasil jadilah seperti ini, Meski tak dapat dipungkiri jika dilain sisi, berkat adanya Dame, selama seminggu belakangan ini, Welang mulai banyak mengalami kemajuan. Terutama dalam perkembangan bicaranya.

"Oh iya, lupa saya, Kak. Maaf-maaf." Ujar Dame. Kepalanya lantas sedikit meneleng, dibalik punggung si terapis, dan tersenyum ke arah Welang.

Sejujurnya Dame kasihan melihat Welang yang bercucuran keringat itu. Mata Welang pun sudah berkaca-kaca, menatap Dame seolah meminta pertolongan. Namun Dame segera berpaling. Tubuhnya kembali disembunyikan ke punggung terapis.

"Dame tunggu disana, ya, Lang. Kamu diterapi dulu, jangan nakal." Dame memutar badan cepat. Mengabaikan Welang yang memanggilnya dengan nada lirih. Dame sendiri harus kuat. Dia juga harus bisa bersikap tegas, demi adiknya.

"Da-me..." bibir Welang melengkung ke bawah. Setetes air mata jatuh membasahi pipi.

Si terapis menghela napas lelah, lalu merangkul pundak Welang bersamaan ditatapnya mata yang berlapis kaca itu "Elang mau kejar Dame?"

Welang mengangguk seraya menelan air mata yang terasa asin.

"Kalau mau kejar Kakaknya, kamu harus bisa lari. Sebelum bisa lari, Elang harus bisa jalan. Dikuatin dulu kakinya. Yuk latihan lagi, yuk."

"Mau sama Dame.."

"Kakaknya lagi ada urusan. Nanti ke sini lagi kalau Elang-nya udah selesai latihan jalan. Mau cepet bisa jalan kan? Atau nggak mau pulang terus di sini selamanya sama saya?"

Memoar HometownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang