"Elang, semua berharap ini adalah permulaan yang baik. Bisakah kamu kembalikan senyum lembutmu?"
.
.
.Dame mengurut dada untuk menenangkan debaran jantung yang berdebar brutal didalam sana. Satu tangannya lagi menarik ujung bawah bajunya untuk mengelap keringat yang membanjir di kening.
"Minumnya ada di bawah, Mas." Kata Pak Rudi, melirik dari spion tengah saat pemuda itu terengah-engah. Cukup merasa bersalah karena membuatnya panik seperti itu. "Maaf ya, Mas. Kalau saja terang-terangan panggil, mereka lihat."
Dame belum menjawab sebab masih disibukkan dengan menelan air. Kemudian botol minum tandas dan pemuda itu meremasnya. "Hah, Pak, Bapak bikin saya kaget. Beberapa hari ini saya dikejar-kejar, kirain saya bakalan dibuang ke jurang waktu dibekap." Dame kembali mengurut dadanya. Sisa ketakutannya masih membekas meski berangsur hilang.
"Maaf, Mas. Terpaksa saya harus berbuat seperti ini, soalnya Mas Dame dan Mas Deo susah sekali dilacak. Kami mencari kalian dari seminggu setelah pisah dengan Mas Elang."
"Ya begitu, Pak. Mau bagaimana lagi, awalnya saya nggak mau matikan navigasi-nya, tapi dipikir-pikir bener juga yang dibilang Kak Deo, kalau dinyalain, nanti mereka gampang ngelacak. Eh malah sama saja, tetap diincar." Ucapan Dame berhenti begitu menyadari sesuatu. "Tapi Pak, Kak Deo?! Kak Deo bagaimana nanti?"
"Tenang Mas Dame, Mas Adeo aman, dia sudah ada di dalam mobil asistennya Tuan Marco. Nanti, kan kita ketemu di Mansion."
Dame mengangguk-angguk. Merasa lebih tenang setelah mendengar Adeo dalam keadaan aman. Dame lalu menyandarkan punggungnya, tiba-tiba pikirannya mengingat Welang. Dia sungguh tidak sabar bertemu adiknya.
"Pak. Elang gimana?"
Pak Rudi melirik sekilas dari spion, terlihat meneguk ludah dan tersenyum getir bersamaan. "Mas Elang kondisinya sedang tidak baik, Mas. Saya cerita ini biar Mas Dame nggak kaget."
"Apa Pak? Gak baik yang biasa Demam-demam aja, kan kayak biasanya?" Dame mencoba menenangkan perasaan risau dengan berucap tenang. Tapi tidak mengerti kenapa jantungnya berdebar. Rasanya tidak ingin pikiran buruknya menjadi kenyataan.
"Mas, Dame, beberapa hari ini demam Mas Elang bahkan nggak hilang-hilang. Tiap hari demam, apalagi setiap malam. Dia selalu mengingau, nyebut-nyebut nama Mas Dame, kadang Mamanya. Beberapa hari lalu ingatan lama nya juga tiba-tiba balik lagi. Tapi setelah itu lupa lagi."
"Biasanya memang begitu, kan, Pak. Kalau lagi stres?"
Pak Rudi tersenyum getir. "Mas Elang stres sekali karena pisah dengan Mas Dame. keadaannya makin memburuk. Saya sempat dengar jika dalam waktu dekat, Mas Elang bakalan dioperasi lagi."
"Ha? Operasi?" Dame terkejut, sampai menegakkan badan, mencondong badan ke depan.
Pak Rudi mengangguk-angguk. "Mas tahu, kondisi terakhirnya, kan? Aneurisma otaknya itu, semakin besar. Risiko pecah dan membuat Mas Elang stoke. Saya gak tahu detail operasinya bakalan seperti apa, tapi garis besarnya, Mas Elang akan operasi."
Dame memejam dengan napas yang tertahan di tenggorokan. Rasanya sangat tercekat, membuatnya seperti tenggelam. Bukannya membaik, tapi kenapa keadaan adiknya justru semakin memburuk.
"Ada lagi, Mas, Dame."
Ada lagi? Apalagi sekarang? Dame bahkan masih syok dengan fakta yang didengarnya barusan, kenapa harus mendengar hal yang menyakitkan lagi.
Dame yang mendadak terlihat pucat, membuat Pak Rudi ragu untuk menjelaskan detail kondisi Welang. Namun begitu Dame mengatakan. "Apa, Pak?" Pak Rudi tetap melanjutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoar Hometown
Fanfiction{Brothership, Familly, Slice Of Life, Sicklit, Angst} Semuanya terasa sangat membingungkan bagi Welang. Dalam ingatannya rumah adalah tempat yang paling nyaman dan menyimpan banyak sekali kenangan yang sulit dilupakan. Namun saat ini, rumah dan selu...