Keyakinan yang Keliru

708 122 67
                                    

"Elang, apa yang kamu lakukan jika Mama melupakanmu?"
.
.
.

Matahari telah menampakkan wujud dari ufuk timur, tanda malam telah berganti pagi. Cahaya hangat seharusnya masuk dari celah jendela kamar itu, menghantarkan vitamin D yang melimpah ruah memenuhi ruangan, sayang hal tersebut belum dapat Banar rasakan.

Yang ada hanyalah pagi dengan suasana gelap gulita tanpa cahaya matahari yang menghangatkan, berganti awan mendung menyelimuti bumi. Rintikan hujan mulai berjatuhan, masuk melalui celah jendela yang terbuka.

Melihat hal itu, Banar bangkit dari sofa lalu menutup jendela dengan gerakan hati-hati agar sang empu yang terbaring di ranjang sebelahnya tidak terganggu. Gordain coklat didekatnya lantas ditarik, yang tersisa kini ruangan benar-benar tertutup.

Banar menghela napas, ia kembali melirik ke arah ranjang, menatap sang putra yang tengah diberi usapan lembut dari sepupunya.

Entah apa yang harus Banar katakan pada anak itu sekarang. Kalau saja bukan karena Mario, mungkin saja kondisi Welang belum stabil sekarang.

Dan entah kebetulan atau tidak, Banar merasa berterimakasih pada Mario karena telah datang di waktu yang tepat, disaat semua orang sedang dibuat kalut dengan tingkah Welang yang mendadak terbangun dalam mode 'gelap'nya—seperti dulu.

Begitu tiba, Mario menerobos para petugas seraya menyuarakan nama Elang beberapa kali. Saat itu, Welang sendiri seketika diam, menghentikan pemberontakan dan menangis tersedu-sedu. Ia menggapai-gapai Mario begitu menyadari ada sosok yang dikenalnya. Dokter pun menyingkir, begitu pula para perawat yang melonggarkan genggaman pada tangan dan kaki Welang.

'Jangan tinggalin Elang.'

'Gue nggak akan tinggalin lo. Gue disini.'

Setelah beberapa detik menyaksikan keduanya berpelukan, Dokter menyuntikkan cairan melalui infus Welang, perlahan, tubuh pemuda itu melemas. Tangannya tak lagi meremas baju belakang Mario lalu berakhir dengan mata yang terpejam.

Kini, meskipun waktu telah berlalu lima jam lamanya, Mario tak menyingkir sedikit pun di sisi Welang. Padalah dia juga masih terlihat sakit. Banar bisa lihat itu dari lipatan siku bagian dalam, terdapat plester bekas jarum yang sedikit menghitam.

Walaupun beberapa kali Banar menawarkan diri mengantarkan pulang, namun Pemuda itu bersikukuh tetap menunggu sang sepupu sampai bangun.

"Rio.."

Mario melirik dari ekor mata dengan tangan yang tetap bergerak konstan menyisir rambut Welang.

"Sebentar lagi sidang terbuka Mamanya Elang, tapi kami kesulitan menemukan saksi..." Banar mengeratkan genggaman pada gelas, sedikit ragu tapi dia tidak mau melewatkan sempatan. "Apa kamu masih belum ingat apa yang terjadi sebelum pingsan saat itu?"

Mario nampaknya enggan menjawab, terbukti dari kembalinya mata bulat itu memandangi sang sepupu, seolah ia tidak mendengar apapun. Berbeda dengan Banar yang menutup mata putus asa. Selalu berakhir seperti ini, dan mungkin ini kali kelima Banar menanyakan perilah kronologi insiden tersebut.

Banar ragu. Melihat ekspresi aneh dari wajah itu, Banar benar-benar ragu jika Mario mengalami hilang ingatan pada kejadian itu. Ia sempat mendengar penjelasan dokter saat anak itu diperiksa.  Dikarenakan jantungnya berhenti berdetak beberapa detik. Alhasil terjadi kerusakan beberapa memori pada otak karena kekurangan oksigen.

Dan lebih lengkapnya dokter mengatakan bahwa Mario mengalami hilang ingatan pada beberapa jam sebelum terjadinya henti jantung. Itu bisa saja terjadi, mengingat Mario mengalami henti jantung lebih dari satu menit. Itu merupakan suatu keajaiban.

Memoar HometownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang