Dunia Welang yang Sederhana

641 101 44
                                    

"Jika Elang mampu maka Ia akan melarikan diri"
.
.
.

Untuk yang kesekian kalinya, Dame menghapus kasar air mata yang menumpuk di dagu. Beberapa kali berpaling pandang juga tak membuat perasaannya melega, tapi malah membuat hati semakin terluka saat seseorang yang ia temui terlihat begitu memprihatinkan.

Wanita yang dulu ia benci, nyatanya berubah menjadi seseorang yang paling Dame kasihani. Rasa bersalah memuncak kala menatap binar redup yang dipancarkan dari mata tajam itu.

Sangat berbeda dengan yang dulu, menyorot kebencian dan keangkuhan yang membuat Dame selalu mendoakan nasib sial untuknya.

Tapi sekarang, doa sial itu ntah kenapa bisa berbalik tertuju padanya. Dame merasa bersalah dengan semua hal yang terjadi pada Celine kendati bukan dialah yang patut disalahkan.

"Maaf baru berani jenguk Tante."

Setelah delapan menit menghabiskan waktu untuk menatap, Dame mulai memecah keheningan. Kendati Celine yang tidak kooperaktif itu terus menatapnya dalam bingung. Namun Dame yakin, jauh dalam lubuk hati wanita itu juga tengah diselimuti tanda tanya besar tentang siapa yang menemuinya.

"Aku Dame. Tante ingat aku?"

Celine yang semula menunduk, menaikkan pandang. Jemari lentik yang biasa berhias kutek merah darah itu, kini terlihat pucat dan kering. Dia lantas menggeleng.

Dame tersenyum getir. Rupanya benar. Kondisi mental Celine belum menunjukkan tanda-tanda peningkatan. Terbukti dari penurunan kognitif yang ia alami menyebabkan kehilangan sebagian orang-orang sekitarnya.

"Tante, aku bawa roti selai nanas yang di atasnya ditaburin chocochips." Dame mengeluarkan kotak makan berwarna bening dari dalam tas, kemudian ia perlahan bergeser disebalah Celine yang menunduk sembari menggigit kuku.

"Ini dipanggang pakai suhu sedang, masih hangat, selai nanasnya nggak terlalu manis, Tante pasti suka."

Celine akhirnya melirik begitu roti itu tersaji di depannya. Aromanya begitu familiar. Membangkitkan memori yang sengaja Celine pendam. Dame tersenyum tipis.

Dame mengambil sepotong roti lalu meletakkannya ditangan Celine.

Celine hanya memandangi roti itu, tanpa menunjukkan ada tanda-tanda akan memasukkannya ke mulut.

"Elang paling suka ini. Selai nanas chocochips."

Dame tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Badannya yang melayu mendadak tegap dengan bola mata yang membulat.

"Tante ingat? Tante ingat Elang suka makan ini? Tante ingat dulu selalu bikinin ini untuk anak Tante?"

Pertanyaan bertubi-tubi yang Dame lontarkan nyatanya tak memberikan reaksi berarti untuk Celine. Ia justru membuka mulut dan sedikit menggigit ujung roti tersebut dan mengunyahnya dengan lambat.

Air mata kemudian menetes dari pipi wanita itu, Dame tidak tahu mengapa mendadak Celine menangis. Menerka-nerka, apa yang membuatnya seperti itu? Penyesalan atau rasa bahagia?

"Tante nggak rindu Elang?"

Mendadak Celine berhenti mengunyah. Matanya masih menyorot kosong, tapi Dame yakin, Celine mendengar ucapannya.

"Tante tahu sekarang Elang ada di mana?"

Butuh lima detik untuk Dame menunggu. Sampai akhirnya Celine menoleh dan berkedip lemah kepadanya sembari berkata, "Elangku..."

Dame mengangguk. "Iya, Elang tante. Anak Tante. Tante tahu keadaannya sekarang?"

"Elang di surga.." Mata Celine tergenang air hingga menumpuk di bawah kelopak. "Elang.."

Memoar HometownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang