Elang sudah Dewasa kok.
.
.
."Dame, Elang gak perlu pake ini-inian. Udah besar Elang malu diliat orang-orang tauu."
Dame tidak peduli, tidak juga terbuai dengan suara memelas adiknya. Ia tetap fokus, memasangkan tali pada pergelangan tangan Welang.
"Dame, kasian tau. Orang-orang ngira lu kek bawa anjing."
Dame melirik Mario dengan tatapan tajam, membuat sang empu menyengir.
Tukang kompor!
"Gue cuma nggak mau orang-orang nanti ngira lu titisan Hitler." Lanjut Mario. Tidak bukan itu juga alasannya, tapi sebenarnya Mario yang malu jika nanti mereka menjadi pusat perhatian.
Padahal jika dilihat-lihat, orang-orang di sekitarnya juga tidak peduli sama sekali.
"Lagian nanti lu repot tau ngikut mau dia ke sana kemari." Lagi-lagi Mario membuat panas suasana hati Dame.
Dame tidak menyahut. Setelah mengikat ke tangan adiknya, kini ujung tali pita hitam tersebut dililit ke tangannya sendiri.
"Dame..." cicit Welang yang hanya bisa mengeluh. Saat ditatap, kepalanya akan menunduk lagi dengan mulut mengerucut. Kamera yang menggelantung di leher, sepertinya akan menjadi sebuah pajangan semata.
Tali yang membentang satu meter tersebut kemudian Dame gulung dan digenggam ke tangan kirinya, membuat tangan kanan Welang yang terikat itu, memanjang, mendekat ke sisi tubuh Dame.
Welang menghela napas. Ketat sekali kalau keluar sama Dame begini.
"Udah. Yok." Katanya Dame, sekarang jauh merasa aman karena Welang tidak akan bisa kabur darinya. "Mau ke mana? Makan sandwitch? Cokelat hangat? Atau steak?"
Welang memberengut, menendang udara dengan kaki kirinya yang pincang. Padahal dia mau bersama Mario ke bawah jembatan. Tapi karena Dame terus mengekor, Welang jadi tidak bisa cari celah untuk lari.
Haduh padahal Mario bilang sunsite adalah waktu terbaik untuk mengabadikan bangunan yang disinari cahaya jingga. Sekarang Welang bisa apa? Paling juga hanya akan makan dan keliling sebentar lalu pulang. Karena Welang tahu, Dame tidak suka melihat dirinya berlama-lama di luar karena udara dingin—alasan andalan Dame.
Kata Dame lagi, dia hanya takut. Katanya, pir besi yang menjadi penyangga tulang tangan dan kaki Welang itu nanti membeku dan membuat Kakinya ngilu. Padahal kan sudah Welang beritahu sendiri, dia sudah tidak apa-apa!
"Baru dua jam kok padahal di sini. Tadi kata Dame boleh sampe sore. Gak ada tuh perjanjian diiket-iket gini! Dame kok sekarang jahat?" Welang mulai menyuarakan ketidakadilan dengan alis yang menukik tegas.
Sementara Dame sebenarnya sangat ingin tertawa, tapi dia sedang mode tegas. Dia mencoba memasang wajah datar seraya terus melangkah dengan sedikit agak menarik tangan Welang. Walaupun gerakan menendang Welang sangat pelan, tapi Dame tahu, rasa kesalnya lebih besar melampaui itu. Dame berlagak tidak peka saja dan memilih melihat-lihat restoran yang cocok untuk dua adik-adiknya makan siang.
Jadwal makan siang para bocah ringkih itu menjadi sedikit terlambat perkara adanya adegan kabur dan drama tadi. Dame jadi pusing, takut jika nanti telat makan, jadwal minum obat keduanya jadi ikut terlambat.
"Lo mau makan apa, Yo? Biasanya lu suka salad. Mau makan salad saja kah kita?"
"Sandwitch aja, yang itu tuh. Lumayan enak gua pernah coba waktu pulang check-up."
"Oke yang itu aja. Ayok, karena kamu dari tadi diem aja, aku anggap setuju." Dame menggenggam tangan Welang dan menariknya pelan.
Namun Welang bergeming. Memaku di tempat dan membuat Dame terpaksa berhenti.
![](https://img.wattpad.com/cover/363755065-288-k120394.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoar Hometown
Fanfiction{Brothership, Familly, Slice Of Life, Sicklit, Angst} Semuanya terasa sangat membingungkan bagi Welang. Dalam ingatannya rumah adalah tempat yang paling nyaman dan menyimpan banyak sekali kenangan yang sulit dilupakan. Namun saat ini, rumah dan selu...