Kilas Balik: Titik yang Serupa penuh Kenangan

599 84 81
                                    

"Kilas Balik yang mengubah dunia menjadi abu-abu"
.
.
.

"Padahal kalau bukan karena aku, Elang pasti nggak akan selamat waktu itu, kan, Sayang?"

Banar meremas tanah di tempatnya berbaring. Di makan Nuha, Banar selalu membayangkan sang istri benar-benar berada disampingnya. Tidak peduli pakaian menjadi kotor akibat berbaring langsung dengan tanah, saking terlalunya Banar merindukan istrinya.

"Sekarang anak-anak nggak ada yang peduli sama, Aku Ma. Tinggalin aku, Padahal mereka dulu anak-anak yang penurut." Ujar Banar seraya berpindah posisi menghadap nisan. Tertulis nama lengkap sang istri beserta tahun kelahiran dan kepergiannya.

"Mama Kok secepat ini tinggalin Papa, sih, Ma? Papa nggak bisa urus anak-anak sendiri. Semuanya kacau waktu Mama bilang sudah nggak kuat waktu itu. Papa sudah mati-matian memohon supaya Mama jangan tinggalin Papa, tapi kayaknya Mama sudah secapek itu."

Masih banyak yang mungkin menjadi penyesalan Banar kala itu, bahkan hingga kini yang terus membekas dalam hati. Pengorbanan Nuha yang luar biasa saat merawat Anak-anaknya membuktikan tanggung jawabnya sebagai seorang istri tidak diragukan lagi. Bukankah Banar sangat beruntung menjadikan Nuha sebagai istrinya? Dimana lagi dia mendapatkan wanita hebat seperti itu di dunia ini?

"Malaikatku.. Kenapa kamu harus pergi secepat ini, Sayang.."

Banar menenggelamkan kepala diatas tanah yang sedikit ditumbuhi rumput liar berukuran jari kelingking itu dengan tubuh meringkuk seperti bayi.

Setelah beberapa saat meratapi hidupnya yang tragis, sinar matahari yang mulai menyengat, membuat Banar perlahan bangkit dari tempat itu. Seraya berjalan menuju gubuk tempatnya menginap, Banar mulai menghubungi sang anak tertua yang hingga kini tak kunjung mengangkat panggilannya.

Banar tidak lelah dan terus berusaha menghubungi semua putranya, meskipun juga berkali-kali panggilannya diabaikan. Banar tidak akan menyerah membuat keduanya kembali padanya. Mereka harus sadar diri jika Ia adalah ayah kandungnya. Jangan sampai menjadi anak yang durhaka.

Sementara itu, sang empu yang menjadi sasaran telepon itu selalu saja ingin mengumpat setiap kali melihat siapa sosok yang memanggil. Adeo mematikan ponselnya dengan kasar.

"Mas Adeo mau masuk?"

Perawat Hani yang berdiri diambang pintu kembali mengkonfirmasi Adeo yang terpaku di depan kamar Steril Welang. Pemuda itu mengangguk seraya mengayunkan kaki.

"Lagi ngapain mereka?" bisik Adeo.

Perawat Hani memutar kepala kedalam. "Saya kurang tahu, tapi sepertinya sedang seru-serunya menonton. Mas Dame nya lagi usaha biar Tuan muda nggak tidur."

Adeo lantas berhenti tepat di depan pintu, sekilas menatap keduanya yang terlihat asyik menonton siaran langsung pertandingan bulutangkis dalam kejuaraan Olimpiade. Dame terlihat turut membaringkan diri diranjang Welang dengan posisi yang sedikit diatas lebih tinggi, sementara kepala Welang ada dibawah ketiak Dame dalam posisi setengah baring.

Dame nampak cerewet, mungkin tengah berusaha agar Welang tidak tertidur dengan terus mengajaknya berbicara. Welang yang terkantuk-kantuk terkadang hanya mengangguk atau sekedar menyahut singkat begitu Dame mengusap kepalanya.

"Saya terharu sekali lihat kalian bertiga yang sedekat ini. Sama-sama tulus dan saling membutuhkan satu sama lain, ngalah-ngalahin sodara kandung saja. Sayang ya anggotanya kurang satu. Harusnya disana ada Tuan Muda Mario yang nemenin Mas Elang, atau sebaliknya. Soalnya dulu, Mas Elang sering jagain Tuan Rio kalau lagi kambuh." Ujar Perawat Hani.

Adeo yang jarang sekali tersenyum itu, pada akhirnya menyunggingkan senyum tipis melalui bibir mungilnya. Melihat pemandangan ini, Adeo terbawa pada masa itu.

Memoar HometownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang