"Mimpi-mimpi yang sebenarnya bukalah sebuah mimpi"
.
.
."Mau pakai baju yang mana?"
Welang tak lantas memperhatikan Dame yang berdiri di samping lemari baju yang terbuka. Fokusnya masih tertuju pada potongan puzzle yang berserakan diatas meja. Sibuk mencocokkan bagian mana yang paling pas dimasukkan dibagian sudut.
Tubuhnya yang masih terbungkus bathrobe putih tampaknya tidak terlihat menganggu digunakan. Padahal udara ruangan cukup rendah, mengingat semalam anak itu yang merengek kepanasan dan AC harus dinyalahkan nonstop.
Juga lihat saja itu, rambutnya masih basah menyebabkan tetesan air membasahi puzzle dibawah meja. Nampaknya tidak terganggu sama sekali, malah terlihat seru-seru saja mainnya.
"Yaudahlah kamu pake yang ini aja. Lagian cuma bentaran doang di rumah sakit." Ujar Dame setelah merasa sia-sia bertanya.
Dame lalu mengambil kemeja kotak-kotak putih cokelat, mengbaikan memakaikan Welang kaos dalaman. Sengaja, agar nanti saat diperiksa, Dokter lebih mudah dan praktis menyikap dadanya. Sementara celana yang Dame pilih adalah celana cream berbahan kain yang sedikit longgar. Persis seperti style Welang dihari biasa.
"Sini pake baju dulu. Mainnya nanti lagi."
"Sedikit lagi, Dame." Rengek Welang dengan pandangan tidak teralihkan. Tangannya yang ditarik, coba dilepaskan. "Tunggu dulu."
"Iya nanti, Lang. Emang nggak dingin? Rambut kamu juga masih basah itu. Belum selesai dikeringin udah gak mau. Nanti masuk angin."
"Enggak. Sebentar sedikit lagi itu, Dam."
"Gak!" Dame tetap menarik paksa dengan suara yang sedikit meninggi. "Udah! Duduk disana! Ayo!"
Mau tidak mau, Welang harus menurut. Gertakan Dame cukup berhasil membuat anak itu meninggalkan acara bermain berkedok terapinya itu.
Hari ini adalah jadwal Welang melakukan periksaan lengkap di rumah sakit untuk memantau aneurisma otak nya yang sebentar lagi akan dilakukan pembedahan. Setelah itu, mungkin dokter dan keluarga akan melakukan diskusi terkait jadwal yang ditetapkan serta prosedur operasi yang harus Welang jalani.
Jujur Dame selalu khawatir, terlebih hari ini, pikirannya selalu dihantui akan kegagalan mengenai berbagai kemungkinan buruk yang terjadi setelah operasi yang adiknya jalani nanti.
"Dame?"
Ditengah sibuknya Dame memasangkan baju ke lengan Welang, Anak itu tiba-tiba menatap.
"Kenapa? Aku terlalu kenceng ya narik tangan yang ini? Sakit, ya?"
Welang menggeleng. Tangan kirinya yang kaku, bukan suatu masalah. "Dame, capek nggak?"
"Capek? Capek ngapain?"
"Aku udah besar diurus Dame terus. Dame capek?"
Hal yang Dame tidak sukai saat Welang sedikit lebih sehat adalah selalu seperti ini. Saat kesadarannya baik, dia akan merasa hidupnya berbeda dari yang lainnya.
Dame mengancingkan baju kemeja Welang. "Aku gak capek. Justru aku malah seneng bisa urus kamu. Aku malah capek liat kamu sakit terus, lemes terus, gak mau makan, ngeluh pusing. Makanya biar aku ga capek, kamu harus sehat, ya."
"Namaku Elang, Welang Mauligue, Dame Kakak nomor dua, Terus siapa satu lagi yang itu, Dame. Beo?" Welang terkekeh seraya memegang erat pinggang Dame yang tengah berusaha memakaikan celana untuknya.
Ingatan Welang mulai ada kemajuan. Dame tersenyun tipis dan merasa bangga. "Deo, Lang. Kak Adeo."
"Oh iya, Deo. Mmmh... terus ada Grandma, Granpa. Papa sama Mama lagi kerja di Jerman. Tapi Dame.. kemarin Elang mimpiin Mama dateng pijit-pijit kaki Elang. Kirain Mama beneran udah pulang. Elang kangen deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoar Hometown
Fanfiction{Brothership, Familly, Slice Of Life, Sicklit, Angst} Semuanya terasa sangat membingungkan bagi Welang. Dalam ingatannya rumah adalah tempat yang paling nyaman dan menyimpan banyak sekali kenangan yang sulit dilupakan. Namun saat ini, rumah dan selu...