"Alasan untuk bertahan."
.
.
.Tok!
Tok!
Tok!Dame mencengkram lengan Adeo begitu seseorang kembali menggedor pintu kamar sewa yang baru saja mereka ditempati dua jam lalu.
Rasanya ingin terus mengumpat. Adeo tak tahan ada dititik dimana mereka harus selalu dikejar dan diawasi oleh para renternir yang bahkan tidak pernah puas setelah diberikan seluruh harta benda yang tersisa pada tubuhnya.
Uang hasil kerja kerasnya yang tidak seberapa itu dirampas tanpa sisa, jam tangan pemberian Ibunya, handphone dan uang tabungan dalam kartu kredit juga diraup tanpa menyisahkan sepeserpun uang untuk pegangan.
Sisa waktu kamar sewa yang sebenarnya masih tersisa hingga lusa terpaksa harus terbuang sia-sia lantara Adeo dan Dame memilih aman. Jika mereka tetap di sana, maka silih berganti para renternir itu akan tetap menemui dan menagih hutang yang tersisa pada mereka. Maka oleh sebab itu, Adeo memilih mencari tempat baru yang sekarang mereka tempati dengan bantuan dari rekan kerjanya.
Sekiranya aman tanpa gangguan beberapa hari, rupanya dugaan Adeo salah. Entah radar apa yang digunakan para komplotan penagih hutang itu sampai-sampai tempat tinggal mereka saat ini diketahui sangat mudah.
Ini sangat mengherankan. Bahkan belum sampai hitungan hari mereka menginap di tempat baru ini, namun gangguan seakan tidak pernah berhenti mengganggu.
Adeo dan Dame, sedikit pun diantara keduanya mampu terlelap nyaman, sebab setiap waktu mereka harus dihantui rasa waspada dari ancaman para renternir yang selalu datang tanpa permisi. Tiga hari ini pun mereka hanya tidur tanpa terlelap, hanya memejam dengan telinga waspada, demi menjaga satu sama lain agar tetap aman.
Adeo dan Dame menghela napas lega dengan badan yang kompak melunglai begitu suara ketukan itu berhenti. Dame kemudian melirik jarum jam yang menunjukkan pukul 3 pagi.
"Sholat dulu, Kak."
Adeo mengangguk. "Sana wudhu duluan."
"Yaudah." Ujar Dame lantas beranjak menuju kamar mandi.
Adeo kembali merebahkan badan pada kasur tipis di lantai. Kepalanya sakit luar biasa. Entah sampai kapan hidupnya akan terancam seperti ini.
--_--_--_--_--
Hari ini bertepatan jadwal kuliah Dame yang kosong, sehingga dimanfaatkan untuk pergi ke suatu tempat yang sudah lama tidak dikunjungi.
Satu keranjang berisi bunga mawar juga sebotol air bersih berada dalam genggaman. Dame melangkah pelan dalam keheningan ditempat itu yang menyejukkan.
Dame terpaku sesaat begitu menyadari tempat peristirahatan terakhir sang Ibu yang bersih dan dipenuhi taburan bunga mawar segar di atas gundukannya. Terlihat masih segar, bahkan ada jejak basah di tanah seakan baru saja seseorang datang mengunjungi makam Ibunya.
Adeo kah? Apa mungkin Kakaknya itu datang sebelum dirinya tiba?
Dame mengedarkan pandang ke penjuru makam dan hanya menemukan sepi.
Tak ambil pusing, Dame lantas berjongkok. Ia meraih segenggam bunga dalam keranjang lantas ditaburkan di atas gundukan makam sang Ibu.
"Gimana kabar Mama disana?" Dame tersenyum pada nisan di depannya. Seolah Ia benar-benar berbicara pada Ibunya.
"Maaf ya, Mah, aku baru dateng ziarah. Harusnya kemarin, tapi aku lagi gak bisa. Kakak juga lagi ada halangan, jadi aku wakilin dia. Mama jangan marahin dia, ya?"
Bunga mawar yang semula penuh, berangsur tandas karena Dame yang tidak berhenti menaburkan makam. Tanah hitam tak lagi tampak, kini menyisahkan warna merah bercampur terang dari kelopak mawar segar. Makam Ibunya kini terlihat seperti baru. Seolah baru saja ditinggal sehari, seperti tahun lalu saat Mama dimakamkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoar Hometown
Fanfiction{Brothership, Familly, Slice Of Life, Sicklit, Angst} Semuanya terasa sangat membingungkan bagi Welang. Dalam ingatannya rumah adalah tempat yang paling nyaman dan menyimpan banyak sekali kenangan yang sulit dilupakan. Namun saat ini, rumah dan selu...