Kilas Balik: Aungan Serigala -2

625 101 95
                                    

Sejak dulu, luka ini memang hanya Welang yang menanggung seorang diri.
.
.
.

"Maaf Welang, untuk lomba kali ini tidak untuk tunggal, tapi beregu. Masing-masing sekolah hanya mengirimkan satu tim dan bapak tidak bisa melepaskan salah satu dari kalian. Seperti yang Bapak jelaskan sebelumnya, dari hasil seleksi, ada tiga siswa yang berhasil lolos dengan nilai yang sama-sama sempurna, kalian berdua, dan Deren satu lagi. Berhubung enam bulan lalu Dame masih dikenai sangsi, jadi terpaksa tersingkir kemudian Deren yang menempati posisi tim. Berhubung sekarang telah masa pemutihan, jadi bapak biarkan kesempatan untuk Dame yang masuk." Ujar guru paruh baya tersebut pada dua siswa berprestasi di depannya.

"Bapak tidak punya alasan untuk memisahkan kalian berdua dari perlombaan kali ini, apalagi Welang, kamu adalah kunci utama karena sebelumnya pernah memenangkan juara. Kamu lebih berpengalaman jadi kamu tetap dipertahankan. Tapi yang jadi pertanyaan, apa Kamu tidak keberatan kalau Dame yang menjadi rekan tim kamu kali ini?"

Welang meneguk ludah. Perasaannya sungguh campur aduk, antara marah, kesal, senang dan benci bergemuruh di hati. Mungkin saja porsi rasa Senang sedikit lebih tinggi kala mengingat kesuksesan mencapai kebahagiaan yang ibunya inginkan bisa diraih, membuat bangga ibunya dengan perlombaan kimia yang akan diikuti, namun sayang hatinya harus dibumbui dengan perasaan kesal lantaran sistem beregu yang telah ditetapkan akan menghambat kebahagiaannya. Benci karena dari sekian siswa berprestasi lainnya, harus Dame yang menjadi rekan timnya.

"Welang, bagaimana? Kenapa tidak jawab pertanyaan Bapak. Ini penting Welang sebelum kita mulai latihan, bapak harus memastikan kalian berdua kompak dalam segala hal."

"Kenapa Bapak nggak pilih Daren aja untuk masuk tim?" Welang menoleh kiri-tempat dimana Dame duduk disebelahnya. "Kenapa harus dia? Lagian saya udah biasa satu team dengan Daren, bukan sama dia." Ujar Welang, tanpa melepas tatapan tajamnya.

"Begini Welang, Bapak sebenarnya telah berdiskusi dengan guru yang lainnya. Kita tidak bisa melepaskan kamu, tapi sulit memilih antara Dame atau Daren. Ini olimpade dengan level yang lebih sulit, kita harus pertimbangkan banyak hak." Guru berkumis tersebut mengela nafas. Ikut merasa frustasi. Pertanyaan sebelumnya terasa konyol.

"Begini saja, saya beri waktu untuk Dame dan Daren berdiskusi. Siapa diantara kalian yang akan masuk satu team dengan Welang, sementara satunya lagi akan dipersiapkan untuk lomba fisika bulan berikutnya. Bagaimana?"

Welang saat itu terlihat lebih lega dengan keputusan guru. Ada kesempatan. Pikirnya, akan sangat mudah menggeretak Dame untuk menyingkir dari tim dan memasukkan Daren untuk menjadi rekannya, akan tetapi, di luar dugaan, Dame yang sejak tadi terdiam, tiba-tiba bersuara dan membuat api yang sempat padam, kembali membara dalam hati Welang.

"Saya memilih tetap di tim kimia, Pak. Saya akan berkerja keras agar sekolah kita memenangkan tempat pertama."

Bugh!

Segenggam pukulan mendarat pada kaca mobil di sampingnya. Hanya dengan cara itu, pelampiasan atas rasa gundah dihati sementara dapat tersalurkan. Setelah gagal memberi pelajaran untuk Dame kemarin, Welang jadi sering marah-marah tidak jelas.

"Brengsek Dame sialan." Guman Welang, dengan dada yang bergemuruh dan terasa panas. Andai saja saat itu Dame tidak buru-buru pergi, mungkin saja Welang berhasil menyeretnya ke toilet dan melayangkan pukulan keras ke wajahnya.

Hukuman atas kelangsungan mulutnya yang ingin berada satu tim dengannya. Sial. Apa yang akan Ibunya lakukan jika sampai hal ini ketahuan? Satu tim dengan musuh? Bisa-bisa Welang akan dikurung di dalam kamar kecil pengap di bawah tangga itu lagi.

Memoar HometownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang