"Reruntuhan hati dimasing-masing hati yang tersakiti"
.
.
.Hari tiga pasca tragedi jatuhnya Welang di taman, kondisinya tak kunjung mengalami peningkatan. Tidak ada perubahan yang berarti dan cenderung stuck dengan keadaan pasif.
Demam yang dialami juga cenderung tidak stabil. Dan Welang hanya akan merasakan suhu normal dikisaran pagi hingga sore. Sisanya, pada malam hari, suhu tubuhnya akan meningkat drastis sampai dini hari atau menjelang matahari terbit.
Segala upaya telah dilakukan termasuk pemberian dosis obat yang ditingkatkan. Namun dokter meyakini bukan masalah pada obat, namun keinginan dalam diri Welang itu sendiri yang membuat keadaannya tak kunjung membaik.
Pemberian stimulasi juga diberikan agar tetap membuat Welang terjaga disaat waktu seharusnya terjaga, dan juga berbicara saat diajak berbicara. Kendati untuk satu hal tersebut masih perlu usaha yang lebih, mengingat Welang tidak responsif.
Pemberian stimulasi adalah yang terpenting dari semua metode pengobatan yang Welang jalani saat ini. Karena hanya dengan sering memberi stimulus, aktivitas otak akan tetap terus berjalan ketimbang membiarkannya tidur seharian penuh. Hal terpenting lainnya adalah agar kemampuan komunikasi Welang tetap terjaga meskipun respon yang diberikan cenderung lambat.
Welang yang sekarang tidak mau berbicara, padahal alat bantu pendengarannya tidak pernah terlepas dari dua lubang telinganya.
Welang baru akan merespon begitu dua sampai lima detik berlalu setelah diberi stimulus. Membuat Nyonya Bendetti yang setia mendampingi selalu tak kuasa melihat keadaan itu.
Fakta bahwa Cucunya semakin hari semakin rapuh, benar-benar memudarkan guratan bahagianya. Harapan untuk bisa melihat raga yang sehat dari cucunya pun hilang entah kemana. Meskipun optimis yang masih disimpan dalam hati tetap memaksa wanita itu terus menemani kedua cucu disamping mereka.
Tanpa rasa lelah, perempuan lansia tersebut selalu bergilir mengecek keadaan sang cucu yang terbaring dalam kamar yang terpisah. Seperti hari ini, Setelah memastikan keadaan Mario stabil, Nyonya Bendetti beralih menemani Welang yang sebentar lagi adalah jadwalnya untuk bangun.
Pukul 11.00 adalah batas toleransi Welang mengarungi mimpi karena efek obat yang diberikan pukul 02.00 dini hari tadi. Selagi menunggu, wanita itu tiba-tiba berkeinginan memotong kuku sang cucu yang mulai memanjang.
Kegiatan memotong kuku pun dilakukan dalam keadaan hening, sebab beberapa petugas jaga sedang beristirahat makan siang. Hanya ada satu perawat perempuan yang menemani wanita itu di dalam seraya membantu mengelap jejak keringat yang muncul perlahan dari leher Welang.
"Kukunya pucet gini, apa nggak apa?" Secara telaten, Nyonya Bendetti memotong kuku jari telunjuk Welang. Ia menoleh singkat lalu kembali pada kuku cucunya.
"Keadaan tuan muda kurang stabil, Nyonya. Beberapa hari ini tidak ada kegiatan fisik, selain itu, Tuan muda juga belum berjemur jadi aliran darahnya kurang lancar. Tapi itu tidak apa-apa selagi tekanan darahnya ada digaris normal." Sahut perawat muda itu.
Nyonya Bendetti menghela napas. "Semoga saja." Ujarnya singkat, lalu meraih jari kelungking sang cucu.
"Setelah diperhatikan, jari-jarinya persis seperti punya Celine." Nyonya Bendetti berujar datar. Lalu terbitlah senyum perih dari bibir merah itu kala mengingat penyesalan yang tidak akan pernah Ia lupakan.
Tentang segala kehaduhan kehidupannya yang terasa semakin kelam tanpa titik terang.
"Kamu tahu, Suster. Ini kali pertama aku memotong kuku cucu sendiri, bahkan kayaknya aku baru memandikan cucuku sendiri saat dia remaja seperti sekarang. Miris sekali, padahal bukannya seharusnya saat dia masih bayi? Seharusnya aku juga yang mengajari Celine bagaimana memandikan bayi yang baru lahir."
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoar Hometown
Fanfiction{Brothership, Familly, Slice Of Life, Sicklit, Angst} Semuanya terasa sangat membingungkan bagi Welang. Dalam ingatannya rumah adalah tempat yang paling nyaman dan menyimpan banyak sekali kenangan yang sulit dilupakan. Namun saat ini, rumah dan selu...