"Welang ayo berjuang sekali lagi"
.
.
."Aku tidak pernah memaksa mereka untuk ikut, tapi mereka sendiri yang menerima tawaran. Aku juga tidak pernah menyangka, mereka akan memilih Elang yang jika dipikir-pikir, mereka tidak tumbuh bersama sejak kecil dan akan memilihmu yang jelas-jelas adalah orangtua kandungnya sendiri. Bagaimana rasanya ditinggalkan, Banar? Bagaimana rasanya diabaikan oleh orang-orang yang paling kamu harapkan disisimu dan barakhir meninggalkanmu?"
Dibalik tembok yang membatasi sekat antara dirinya dengan kedua pria dewasa itu, Dame makin menenggelamkan wajah dalam lipatan lutut. Sebetulnya Dame tidak merasa tersinggung dengan kata-kata Tuan Marco yang jelas terdengar menusuk tersebut. Hanya saja, Dame rasa, cukup membingungkan.
Banar tetaplah Ayahnya, orangtua kandung yang merawat baik dirinya, tapi kenapa? Kenapa rasa kecewa yang ayahnya lakukan benar-benar menghapus perasaan bersalah yang seharusnya Dame rasakan sekarang.
Kebimbangan menyelimuti hati kecil Dame, memilih antara menjadi anak pembangkang atau pemaaf?
Dame tidak tahu, dan Dame sebetulnya bingung harus mengambil keputusan antara berada disisi sang Ayah atau memilih menjauh dan tinggal bersama adiknya?
"Apa yang terjadi pada cucuku?"
Dengan cepat Dame menoleh belakang. Menyaksikan beberapa kali suster keluar masuk ruang operasi, membuat Jantungnya berdebar kencang. Pikiran Dame kacau sekali, hatinya cemas, terbukti dari tangannya tak berhenti bergetar saking takutnya jika proses operasi Welang mengalami kendala.
Suster tersebut tak sempat menjelaskan karena tergesa-gesa lari, sebab ada suatu hal yang harus segera dilakukan.
Setelah itu, hening kembali menyapa sebelum helaan napas berat berhembus dari Tuan Marco diikuti tubuh yang terduduk lemas di kursi tunggu.
Banar yang sejak kedatangannya hanya berdiri itu, juga tak berbuat banyak. Tatapannya hanya terfokus pada lampu sudut atas pintu ruang operasi yang menyala. Anaknya, sedang berjuang untuk yang sekian kalinya. Sungguh mengingatkan momen lama yang tidak pernah ia lupakan. Saat Welang juga berjuang di meja operasi dengan kondisi yang mengerikan.
"Pergilah sebelum istriku datang. Jangan membuat mentalnya kembali tertekan karena kedatanganmu, Banar. Dia mengalami situasi yang sangat sulit, cucuku yang lain juga sedang berjuang, tolong jangan memperkeruh keadaan kami." Usir Tuan Marco halus.
Setidaknya waktu satu jam sudah cukup membiarkan Banar menemui cucunya kendati yang ditemui tak menyadarinya. Kebaikan pria tua itu, masih cukup membuktikan jika keberadaan Banar masih diakui sebagai ayah dari cucunya, akan tetapi, sayangnya, untuk Dame dan yang notabena adalah anak kandung Banar, terlihat menjauh dan enggan menerima kedatangan ayahnya sendiri.
Itu tidak bisa dipaksakan, Marco sendiri tak membenarkan kedua pemuda tersebut melakukan tindakan seperti itu, akan tetapi, dari sanalah Marco juga memahami jika rasa kecewa yang dua pemuda alami itu benar-benar tidak bisa ditoleransi.
Dame memilih bersembunyi, dan Adeo memilih pergi. Dan hal itu cukup membuktikan jika kehadiran Banar tak lagi mereka inginkan.
"Tuan, sebelum saya benar-benar tidak bisa melihat mereka lagi, tolong izinkan saya melihat keadaan Elang. Tidak akan lama, saya mohon. Untuk terakhir kalinya."
Tuan Marco menaikkan pandang. Sorot mata itu, berbeda. Tidak menyorot kebencian dan dendam. Justru malah selaput bening mengelilingi iris hitamnya yang terlihat berkeriput layu, membuat siapapun yang melihatnya, akan merasa iba dan kasihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoar Hometown
Fanfiction{Brothership, Familly, Slice Of Life, Sicklit, Angst} Semuanya terasa sangat membingungkan bagi Welang. Dalam ingatannya rumah adalah tempat yang paling nyaman dan menyimpan banyak sekali kenangan yang sulit dilupakan. Namun saat ini, rumah dan selu...