Jika bisa memilih, aku lebih menyukai dirimu yang dahulu dari pada yang sekarang.
.
.
.Dua orang dalam mobil Alphard itu sejak tadi hanya terdiam, dengan tatapan yang sejak tadi tak lepas dari seorang yang menjadi penyebab perasaan keduanya diselimuti bumbu penyesalan dan perasaan yang tidak bisa dijelaskan.
Banar Mauligue, pria paruh baya yang memiliki status Ayah dari dua anak---ah bukan, sekarang menjadi tiga anak tersebut hanya berani memperhatikan dari spion atas. Sementara si putra tengahnya, Dame, menatap Welang secara terang-terangan di sebelahnya.
Tidak ada percakapan sederhana yang biasa dilakukan sebuah keluarga umumnya ketika berada di dalam mobil. Tidak ada canda tawa yang menambah suasana perjalanan menjadi hangat. Yang ada hanya kecanggungan yang tercipta dari awal masuk hingga tujuan nyaris sampai. Keduanya sama-sama tidak tahu memulai dari percakapan apa.
Sekalipun bersuara, Banar dan Dame hanya akan menanggapi celotehan spontan yang keluar dari bibir Welang. Sesekali meluruskan jika celotehan Welang ada yang keliru, itupun kalau mereka paham, kalau tidak, mereka hanya menjawab dengan kata 'iya, bukan dan jangan.' Sebagai alternatif sekedar menangapi. Jangan salahkan mereka, karena Banar dan Dame banyak tidak tahunya tentang Welang.
"Itu.. itu Sekolah Elang!"
Dengan hebohnya, jari telunjukknya mematuk, menunjuk arah bangunan tidak asing yang samar telintas di kepala Welang
"Iya, Elang dulu SMP di situ, bareng Dame. Elang ingat?" Sahut Banar.
"Ingat!" Elang mengangguk-angguk dengan kepala yang perlahan bergerak dari kanan ke kiri mengikuti pergerakan yang mulai menjauh. Beberapa saat, Elang mengernyitkan kening dan menoleh cepat ke arah depan.
"Paman siapa?"
Bukan hal yang mengejutkan, baik Banar dan Dame, keduanya sudah kebal mendengar pertanyaan berulang yang kelima dari Welang. Banar tersenyum, tak menyahut dan hanya fokus pada jalanan.
"Itu Papa. Kamu rebahan aja sini, gak pegel duduk tegak mulu?" Dame menarik bahu Welang agar duduk dalam posisi benar, bukan duduk penyamping, selurus dengan kaca mobil.
"Papa?" Katanya sembari merebahkan punggung. Lantas menoleh ke kiri, tempat di mana Dame berada. "Kamu?" alisnya mengernyit kebingungan, "Kamu kok masuk ke mobil? Mau nebeng pulang, ya?"
Dame tersenyum. Jika sudah menyebut orang lain dengan kata 'kamu', itu artinya Welang sedang mengingat Dame sebagai teman. Dame amati perilaku Welang ini saat beberapa bulan tinggal bersama.
"Iya nih, kamu ingat gak rumahku di mana?"
"Kok tanya balik? Mana aku tahu, itu kan rumahmu." Sahut Welang.
"Memang kamu ingat di mana rumahmu?"
Welang nampak berpikir seolah menjawab pertanyaan sulit. Bola mata hitamnya berputar ke atas diiringi percikan suara 'mmm' yang lantang.
"Di... Perumnas Candi Catur." Sahut Welang kemudian yang seraya gumanan. Seperti ragu.
Mobil berhenti, tepat di depan gerbang tralis berwarna hitam. Banar menekan klakson agar Bi Nur segera membukakan gerbang. Selagi menunggu, Banar melepas seatbelt dan berbalik badan.
"Itu rumah lama, sekarang rumah baru Elang di sini. Perumahan Raflesia Indah."
"Tapi Elang sering ambil paketan Mama di teras tulisannya Perumahan Candi Catur. Kok di pindah jadi di sini? Rumah Elang lebih besar dari ini kok. Kamar Elang di atas sana," Elang menunjuk asal, matanya berkeliling entah ke mana.
![](https://img.wattpad.com/cover/363755065-288-k120394.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoar Hometown
Fanfiction{Brothership, Familly, Slice Of Life, Sicklit, Angst} Semuanya terasa sangat membingungkan bagi Welang. Dalam ingatannya rumah adalah tempat yang paling nyaman dan menyimpan banyak sekali kenangan yang sulit dilupakan. Namun saat ini, rumah dan selu...