Elang, kamu ada atas dasar cinta, tapi mengapa justru saat hadir di dunia, cinta itu menghilang dan berubah menjadi lara?
.
.
.[Jakarta, 21 Desember 2010]
Di antara sekumpulan bocah-bocah yang tengah asik bermain di taman kota itu, hanya satu yang menjadi pusat perhatian satu wanita di sana. Dengan pakaian yang mencolok mewah dengan gaun hitam bernilai jutaan rupiah.
Tidak banyak pernak-pernik selain tas mewah dalam lipatan lengannya yang seputih susu. Kuku lentik berona merah maroon seakan menambah pesona elegan yang terpancar dari tubuhnya yang indah bagaikan model berkelas internasional. Ia berdiri tujuh jengkal di belakang sang putra yang kegirangan bermain tiang gantung bersama teman-temannya yang lain.
Beberapa orang tua anak-anak yang mengawasi anak-anaknya bermain selalu melirik kagum pada sosok wanita itu. Berbagai pertanyaan saling cicit membicarakan siapa sosoknya yang menawan tersebut seperti 'orang tua dari anak yang mana dia? Siapa dia? Apa pekerjaannya?' dan lain sebagainya.
Menarik perhatian bukan hanya persoalan penampilan, melainkan kecantikannya yang luar biasa mempesona sehingga keberadaannya selalu menjadi sorotan utama orang-orang yang ada disana bahkan yang berlalu lalang sekedar bersantai mencari kesejukan udara sore.
Sedari tadi, pandangannya hanya memindai si putra, setiap pergerakan lincah putranya selalu dalam pengawasan. Sesekali senyum wanita itu mengembang karena terlalu hanyut menatap polah pangeran nya yang menggemaskan.
"Anakku paling tampan di antara semua anak-anak di sini,"
Begitulah sekilas ucapan yang sempat tertangkap dari rungu salah seorang ibu-ibu saat hendak memanggil putranya untuk pulang. Entah berniat pamer, membanggakan diri atau mengguman, sebab wanita itu berucap dengan datar.
Suara dentuman lutut beradu dengan pasir basah membuat langkah wanita itu mendekat ke arah sumber suara. Ia berjongkok, mensejajarkan tubuh pada sang putra yang terjatuh dalam posisi tengkurap.
Sakit dan malu, si anak hampir menangis, namun isakan itu ditahan begitu ibunya menatap dengan senyuman tipis.
"Berdiri," satu perintah yang seketika membuat si bocah bangkit.
Wanita itu tersenyum sembari menepuk bagian tubuh yang kotor karena pasir, "Jangan nangis, anak laki-laki tidak boleh menangis. Ingat, Elang harus jadi laki-laki kuat untuk Mama."
Celine, memutar tubuh anaknya dan menghadapkannya pada seorang bocah seusia Welang yang tengah bermain dengan anak yang lebih besar darinya. Sama seperti Elang, si bocah juga mendapat mengawasan dari ibunya di pojok sana, namun sosoknya terlihat lebih lembut dan ramah. Selalu menampilkan senyum manisnya saat berbicara dengan sesama ibu-ibu di sana.
"Liat yang pakai baju Spiderman itu?" Welang mengangguk. "Kamu harus lebih hebat dari dia, Elang nggak boleh kalah sama dia apapun yang terjadi."
Welang, si bocah berusia lima tahun itu hanya mengangguk. Otak yang masih berkembang itu menangkap sederhana perkataan ibunya. Sebuah pemahaman jika dia harus lebih hebat mengalahkan Spiderman itu.
"Elang kata Mama Hulk yang kuat?"
Celine mengangguk. "Hulk yang bisa mengalahkan Spiderman. Elang harus sekuat itu untuk Mama karena Elang superhero-nya Mama, bisa?"
"Bisaaa!" Elang kecil memekik girang. Tanpa keberatan mengucapkan janji yang tidak sepenuhnya dia mengerti.
"Ayo kita pulang, besok Elang sekolah minggu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoar Hometown
Fanfiction{Brothership, Familly, Slice Of Life, Sicklit, Angst} Semuanya terasa sangat membingungkan bagi Welang. Dalam ingatannya rumah adalah tempat yang paling nyaman dan menyimpan banyak sekali kenangan yang sulit dilupakan. Namun saat ini, rumah dan selu...