"Senyummu adalah luka yang menyakitkan, Elang."
.
.
."Dame!"
Akhirnya, setelah tiga setengah jam menunggu, Welang dan Mario keluar dari gereja. Pemuda berhati hangat itu lekas berlari menerjang kerumunan orang yang berlawanan arah dengannya demi cepat sampai menghampiri mereka yang berdiri di samping pintu.
"Kenapa nggak duduk di kursi roda lagi?" tanya Dame begitu menyadari Welang sudah berdiri di sebelah sepupunya sembari menjinjing jaket parasutnya.
"Pegel duduk terus." Sahut Welang, lantas meraih tangan Dame agar bisa digandeng. "Dame lama nunggu ya? Maaf ya, ayo sekarang kita pulang, Elang udah laper."
"Tapi kamu nggak boleh kelamaan jalan sendiri, parkirannya juga jauh. Duduk lagi, biar kakinya nggak sakit." Dame sudah mengambil alih pegangan kursi dari tangan Mario, namun Welang justru maju satu langkah mendekati Pak Rudi.
"No, No. Elang mau jalan sama Pak Rudi aja, Dame aja yang duduk sana kalau pegel." Katanya sembari menggenggam tangan pria itu dengan mata berbinar-binar. "Ayo Pak cepet, Elang mau pulang."
Dame mendengus. Kalau sudah begitu mau bagaimana lagi. Dia pun mengalah dan membiarkan Welang berjalan lebih dulu bersama Pak Rudi ke parkiran. Sementara, ia dan Mario berjalan agak dibelakang sembari membawa kursi roda dan barang-barang yang ditinggal.
"Dame, butuh berapa lama sampai akhirnya Elang inget lo?"
"Gue nggak hitung pasti sih mulai dari kapannya, tapi kalau nggak salah, selama hampir delapan bulan ini dia tinggal sama gue, dia ingatnya baru sebulan ini."
Mario tersenyum miris seraya memandang Welang yang bergelayut manja dengan Pak Rudi. Jalannya yang pincang itu sedikit menarik perhatian beberapa orang. Jika untuk Dame yang setiap hari bertemu saja membutuhkan waktu yang lama, bagaimana dengan dirinya yang jarang bertemu?
Banyak hal yang akan Mario lakukan dalam waktu terdekat sepertinya akan menambah lamanya waktu Welang bisa mengingatnya.
"Kenapa?"
"Gue juga pengen kayak lo yang nggak dilupain lagi sama Elang. Nggak perlu lagi setiap dia buka mata harus perkenalan diri."
"Lo bisa dateng tiap hari nemuin Elang kalau mau. Dokter bilang, semakin sering dia lihat wajah-wajah kita, dia lama-lama bakalan inget kita, gue contohnya."
Dame tersenyum lebar. Berkat kesabaran Dame yang seluas samudera itu, dia menjadi sangat bangga kepada Welang. Berkas usaha dan dedikasi yang tinggi itu hasilnya kini ia tidak dilupakan lagi, keberadaannya diingat Welang.
Sekarang, setiap pagi adalah momen yang paling Dame tunggu-tunggu, menunggu Welang memanggilnya tanpa bersusah payah perlu diingatkan lagi. Dame tidak pernah lupa akan tatapan hangat dan senyum meneduhkan itu. Yang hebatnya selalu sukses membuat Dame jadi lebih bersemangat menjalani hari-harinya yang sempat suram.
Tuhan baik, sangat tahu apa yang Dame butuhkan. Kehadiran Welang adalah sebuah anugrah karena mampu mengisi kekosongan yang sempat menghilang. Kesedihan Dame atas hilangnya yang berharga itu terasa digantikan dengan yang serupa. Dame sangat berterimakasih pada yang kuasa. Sungguh.
Sebuah pujian tak terucap sampai detik ini terus ingin Dame kumandangkan kepada adiknya itu. Bagaimana tidak, Dame merasa salut dan senang dalam waktu bersamaan kepada Welang.
Kondisinya berangsur membaik, kapasitas ingatan Welang mulai bertahan lama dari waktu ke waktu, Menurut minum obat dan tidak susah makan. Dame sangat senang dengan perkebangan itu.
Beberapa kegiatan yang Welang lakukan pun mulai diingatnya dalam waktu yang lama. Itu bagus, sebuah progress yang baik kalau kata dokter.
"Bokap lo juga masih belum dia inget, apalagi gue. Kenapa coba dia bisa begitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoar Hometown
Fanfiction{Brothership, Familly, Slice Of Life, Sicklit, Angst} Semuanya terasa sangat membingungkan bagi Welang. Dalam ingatannya rumah adalah tempat yang paling nyaman dan menyimpan banyak sekali kenangan yang sulit dilupakan. Namun saat ini, rumah dan selu...