Megah bukan berati nyaman.
.
.
.[Jakarta, 1 Mei 2020]
Hari itu, dunia berjalan seperti biasa. Di pagi yang cerah dalam rumah mewah yang hanya berpenghuni dua orang sebagai tuan rumah itu sedang menikmati acara sarapannya.
Lentingan bunyi alat makan yang beradu dengan piring adalah suara lumrah yang terjadi di dalam ruang makan disalah satu rumah mewah di kawasan elit di Jakarta itu.
Suasana sangat hening namun juga tenang sehingga bagi siapa pun yang melihat mereka seperti tengah melihat keluarga kerajaan yang kesepian namun tetap elegan. Hanya berdua dalam meja marmer yang membentang lebar di sana.
Ya, hanya berdua dengan posisi duduk yang selalu tetap diantara banyaknya kursi-kursi yang berjejer. Seperti tidak memiliki fungsi karena seingat pekerja di sana bahkan bisa di hitung jari kursi-kursi itu duduki banyak orang.
Para pekerja disana pun sampai keheranan. Apa yang terjadi dalam keluarga itu? Selain misterius, keluarga ini sangat tertutup. Tidak ada yang berani melawan maupun membantah, meski mereka sendiri tetap betah bekerja.
Entah atas dasar apa semuanya bekerja dalam waktu yang lama. Nyaman? Mungkin lebih tepatnya gaji yang disuguhkan cukup tinggi, si tuan juga bersikap baik dan adil. Ada sekitar delapan asisten rumah tangga bekerja sesuai tugasnya masing-masing dan sebanyak itu, mereka diperlakukan dengan layak.
Si tuan termuda yang layaknya pangeran dengan segala kesempurnaannya selalu menjadi topik bahasan si tuan yang tertua, penguasa rumah yang mengatur segala isi sampai seluk beluk rumah itu. Pembawaannya yang begitu anggun akan berbanding terbalik menjadi wanita ceria kala sosok tuan besar datang.
Tatapan yang selalu tegas menyorot orang lain juga akan berubah hangat saat sosok tuan besar itu hadir meramaikan rumah tersebut. Namun sayangnya, sosok itu sangat jarang hadir sehingga membuat si tuan tertua selalu memasang wajah anggun nan mengintimidasikannya setiap hari.
Dari ujung ekor, Celine, si tuan tertua penguasa rumah tengah menatap tegas pangeran kesayangannya yang mulai bertingkah.
"Apa brokoli kali ini rasanya kurang enak, Elang?"
Si pelaku, Elang. Terkesiap saat diam-diam kegiatan menyisihkan brokoli ke pinggir piring ketahuan. Tubuhnya saat makan sudah menegap, namun semakin menegap saat rasa gugup menyerang. Elang lantas menggeleng.
"Setiap lauk yang ada di piring selalu memiliki manfaat untuk tubuh kamu. Sudah berapa kali Mama bilang, walaupun enggak suka, kamu tetap harus makan, brokoli bagus untuk meningkatkan fungsi otak."
Welang mengangguk patuh lagi. Dengan berat hati, garpu kembali menusuk potongan brokoli yang paling dia benci ke dalam mulut. Welang selalu tidak pernah memiliki alasan untuk membantah karena semua yang diucapkan Mamanys adalah benar.
Celine tersenyum setelah merasa bangga pada setiap kepatuhan anak semata wayangnya. Tangannya yang berhiaskan kuku berona merah terangkat untuk sekedar memberi pujian. Ia mengusap rambut yang menutupi kening Welang penuh kasih sayang.
"Mama doain semoga ujian hari ini lancar."
Welang tersenyum. "Makasih, Ma."
"Sama-sama. Oh ya, Elang, nanti malam Papa pulang. Jangan pergi-pergi dulu setelah pulang sekolah. Hari ini Kita makan malam bareng Papa."
"Iya, Ma." Sahut Welang seraya meletakkan alat makan di atas piring tanda selesai makan. Pemuda itu lantas mengambil tas di bangku samping dan berdiri. Sudah waktunya berangkat ke sekolah, namun sesuatu yang sejak tadi mengganjal di benak terus memaksa ingin di keluarkan. Welang ragu, mengatakan karena takut jika sampai membuat emosi Mamanya berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoar Hometown
Fanfiction{Brothership, Familly, Slice Of Life, Sicklit, Angst} Semuanya terasa sangat membingungkan bagi Welang. Dalam ingatannya rumah adalah tempat yang paling nyaman dan menyimpan banyak sekali kenangan yang sulit dilupakan. Namun saat ini, rumah dan selu...