Kilas Balik: Puncak segala rasa Welang akhirnya Meledak

692 124 90
                                    

Titik balik dari kesabaran yang selama ini kamu miliki rupanya meledak dalam level yang berbahaya, maafkan kami semua, Elang.
.
.
.

Kendati panggilan yang sangat Banar rindukan itu akhirnya terdengar setelah sekian lama, namun bukan berati niatnya untuk menemui Nuha menjadi gagal.

Kendati panggilan 'Pa' berhasil menggetarkan hati Banar, bukan berati Welang menjadi prioritas utamanya.

Walaupun Banar ingat betul kapan jelasnya sang anak memanggil 'Pa' adalah saat sebelum kejadian di taman beberapa tahun lalu, Banar tetap memilih Nuha.

Walaupun Banar ingat betul, semenjak kejadian itu, ia tidak lagi dapat melihat tatapan hangat dari binar jelaga itu. Banar selalu memikirkan Nuha dan kedua anaknya yang malang.

Juga meskipun hanya dianggap hantu setiap kali mengajak Welang berbicara, bukan berarti, panggilan yang syarat akan permintaan tolong tersebut membuat kadar kekhawatiran Banar pada Nuha berkurang.

Nyawa Nuha yang selalu di ujung tanduk, membuat akal pria rupawan tersebut selalu dilanda bayangan buruk. Bagaimana jika Nuha meninggal dan bagaimana nasib kedua anaknya disaat ibu mereka sekarat tanpa kehadiran ayahnya? Hanya itu yang selalu mengisi seluruh ruang kepala Banar.

Setelah mengelus kepala yang ditumbuhi rambut lebat itu, perlahan tangan Banar dengan berat hati bergerak, mencoba melepas jemari-jemari kecil yang mengikat kuat ujung seragam cokelat tua kebanggaannya.

Dilain sisi, Seakan mendapat firasat akan segera ditinggalkan, Welang mencoba bertahan dengan menambah jumlah jemari untuk memegang ujung kain tebal di depannya. Tangan Welang mencengkram terang-terangan. Kepalanya kembali menggeleng keras.

"Jangan pergi." Ucap Welang lirih. "Jangan pergi, Pa."

Air mata semakin deras Welang jatuhkan di baju Banar. Welang akui, ia memang telah menjilat ludahnya sendiri, mengatakan tidak akan membutuhkan sosok ayah dalam kondisi apapun. Tetapi lihat saja sekarang, dia justru mengakui sosok ini adalah seorang ayah yang sangat ingin Welang berlindung dibalik punggungnya.

Nyatanya, Welang tidak punya pilihan, dia hanya ingin lari dan menjauh.
Sejauh mungkin sampai dirinya tidak lagi tampak dari lubang neraka yang akan dia jalani dari sang ibu nantinya.

Welang hanya meminta perlindungan, bahkan ini kali pertama dalam hidup, Welang merengek. Tidak'kah Banar peduli dan memihaknya sekali ini saja?

"Elang, maafkan Papa. Keadaan sangat darurat, nyawa seseorang sedang dipertaruhkan, Papa harus pergi."

Tangis Welang mendadak berhenti, begitu juga dengan tarikan nafasnya. Kalimat yang tidak ingin Welang dengar, menusuk mengenai jantungnya.

Andaikan Banar tahu, Nyawa Welang juga sedang dipertaruhkan.

"Papa akan kembali temui kamu dan periksa keadaan kamu yang seperti ini ke dokter. Tapi sekarang Papa harus pergi, tunggu Papa." Banar kemudian melepas ikatan tangan sang anak di bajunya. Sebenarnya ia tidak ingin seperti ini, rasanya jahat sekali, namun Banar tetaplah Banar, Pun dengan Welang yang tidak lagi melawan saat tangannya disingkirkan.

Welang sebenarnya sadar betul, ayahnya tidak akan pernah memihaknya.

Kepala yang sejak tadi menunduk, perlahan terangkat guna mengintip raut ayahnya. Pandangan masih mengabur lantaran banyak dilapisi air mata, tetapi Welang masih dapat melihat wajah Banar, entah mengapa, sulit sekali dijelaskan.

"Maaf Elang, maafkan Papa."

Welang masih menatap, dari tatapan tersebut sudah banyak mengartikan berbagai rasa. Welang akan segera kembali ke lubang neraka tanpa seorang pun yang menolongnya.

Memoar HometownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang