Dipengujung Rasa

612 111 125
                                    

"Ini adalah akhir dari harapan Elang dalam menghadapi dunia yang sama sekali tidak Ia mengerti."
.
.
.

Panik bukan main, itulah yang dirasakan Nyonya Bendetti kala mendapat kabar Welang menghilang.

Ada terbesit perasaan tidak percaya dengan laporan itu, mengingat keadaan Welang yang tidak memungkinkan untuk bisa pergi jauh. Jangankan berlari, bahkan untuk berdiri saja, cucunya itu tak mampu.

Belum lagi alasan keamanan Mansion yang super ketat membuat Nyonya Bendetti meragukan hilangnya Welang, namun siapa sangka, saat setibanya di taman belakang, semua orang telah berpencar saling berteriak memanggil sang cucu. Barulah didetik itu, Nyonya Bendetti benar-benar mempercayainya.

"Cucuku.. Hilang? Nggak mungkin. Semua rumah ini dikelilingi tembok yang tinggi, Tidak mungkin Elang menghilang." Kecuali ada seseorang yang sengaja menculiknya.

Kepala wanita itu menggeleng. Ia tak mau pikiran negatifnya mempengaruhi perasaannya. Dia harus tenang karena ada cucu-cucu yang membutuhkan dirinya.

Sembari menunggu pencarian, Nyonya Bendetti mendengar dengan seksama kronologi hilangnya Welang dari petugas perawat yang menemani cucunya terakhir kali. Meskipun kesal, namun tak semata-mata wanita itu membentak atau langsung mempecat perawat itu atas kelalaiannya.

Dan ditengah penjelasan tersebut, Nyonya Bendetti baru mengingat satu orang.

"Berikan Ponselku?!"

Asisten tersebut memberikan ponsel si tuan lantas diambil dengan cepat. Nyonya Bendetti kemudian mengutak-atik ponselnya dengan segera kemudian menempelkannya ke telinga.

Selagi menunggu panggilan, Wanita itu tak ada hentinya menggigit kuku. Rasa cemasnya semakin memuncak saat panggilan yang tertuju pada Dame tak kunjung diangkat.

Begitu panggilan berakhir, Nyonya Bendetti lantas beralih menguhungi Adeo. Akan tetapi, hasilnya sama. Panggilan tak terjawab.

Tak berhenti sampai disana, Nyonya Bendetti beralih menghubungi Banar.

Sementara Tuan Marco, tampak sibuk memantau dari taman lantas menghampiri sang istri.

"Bagaimana?"

Nyonya Bendetti menggeleng. Matanya melirik tajam setelah panggilan ke Banar tak juga membuahkan hasil.

Ia melempar ponselnya kemudian memukul dada Marco dengan kepalan tangan yang teramat kuat. Seakan segala amarah dilampiaskan dari itu.

"Ini semua karenamu. Andai aja kamu dengerin omonganku, membawa Dame ke rumah secepatnya, Elang pasti akan baik-baik aja." Ujarnya diselingi isakan lirih.

Penyesalan selalu datang diakhir. Tuan Marco membungkam, meresapi setiap pukulan menembus sanubarinya untuk menghukum dirinya.

"Maafkan aku."

"Percuma minta maaf kalau pada akhirnya semua ini terlanjur terjadi. Aku nggak bakalan maafin kamu kalau terjadi sesuatu sama Elangku."

"Astagfirullah. Ketemuu!!" Sebuah pekikkan yang begitu keras terdengar dari semak-semak pinggir pepohonan rindang di sebelah taman.

"Nyonya! Tuan muda."

Kedua orangtua tersebut lantas memacu langkah menunju sumber suara, tak lagi mempedulikan perdebatan yang baru saja mereka dilakukan.

Nyonya Bendetti membekap mulut dengan isakan yang tercekat ditenggorokan kala menyaksikan sang cucu kesayangan tiba-tiba diangkat dari semak-semak dalam keadaan kotor dan basah kuyup oleh salah satu asisten.

Dalam gendongan itu, Welang tergolek tidak sadarkan diri dengan goresan luka-luka lecet dipipinya. Bibirnya sangat pucat dan rambutnya basah kuyup.

Anak itu ditemukan dalam keadaan terendam di sebuah saluran air buatan yang biasa digunakan khusus untuk hiasan dan menyiram tanaman sekitar taman.

Memoar HometownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang